Tashfiyah dan Tarbiyah

Written by Abu Muslim on 22.58

Syaikh Salim bin 'Id al Hilali Hafizhahullah


Ditanyakan kepada Syaikh Salim bin 'Id al Hilali –hafizhahullah:
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi syubhat yang dilontarkan kepada as-Salafiyyun, bahwa as-Salafiyun tidak peduli dengan masalah Iqamatud-Daulah atau al Khilafah al Islamiyah (mendirikan atau membangun Negara dan Kekuasaan Islam)?

Syaikh Salim bin 'Id al Hilali -hafizhahullah- menjawab:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu 'ala Rasulillah, wa 'ala alihi wa ash habihi wa man walah,
Sebagaimana yang tadi telah disebutkan oleh Syaikh Ali -hafizhahullah- bahwa syubhat-syubhat itu sangat banyak.1 Sehingga menjawabnya pun membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu beliau meringkasnya. Dan apa yang telah beliau sampaikan sebenarnya sudah cukup.
Namun, tatkala permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan masalah kenegaraan dan pemerintahan, maka permasalahan ini merupakan permasalahan paling besar, dan merupakan sebab terbesar yang telah membangkitkan dan mengobarkan para pemuda untuk sangat mudah melakukan takfir (pengkafiran) dan pemberontakan atau demo-demo, dan bahkan terorisme berbuat anarkhis. Sebagian permasalahan ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ali -hafizhahullah- dan saya akan menjelaskan dari sisi lain, yang kaitannya lebih erat dengan permasalahan politik atau kenegaraan secara ringkas pula, Insya Allah.

Pertama kali yang semestinya kita pahami adalah, bahwa negara yang penduduknya kaum Muslimin, di dalamnya dikumandangkan adzan, ditegakkan shalat, mayoritas keadaan kaum Muslimin berhukum dengan syariat Islam, maka negara ini adalah negara Islam. Karena perbedaan antara negara Islam dengan negara kafir, sebagaimana telah disebutkan oleh al Muzani dalam kitab Ushulus-Sunnah, adalah dikumandangkan adzan dan ditegakkan shalat di dalamnya.

Oleh karena itu, terhadap orang-orang yang mengatakan "kalian tidak peduli dengan iqamatud-Daulatil-Islamiyah (mendirikan negara Islam)," maka kita katakan kepada mereka, sesungguhnya negara-negara Islam sudah ada dan berdiri! Namun yang menjadi permasalahan, mayoritas hukum-hukum yang kini diterapkan di sebagian negara-negara Islam, baik dalam bidang perekonomian, politik, pendidikan, kebudayaan dan lain-lainnya, hampir secara keseluruhan merupakan hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum impor (yang didatangkan dari negara-negara kafir, Red.).

Para ulama telah menjelaskan secara terperinci tentang permasalahan ini.2 Yakni, tentang berhukum dengan hukum-hukum atau undang-undang buatan manusia. Para ulama menerangkan, bahwa seseorang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, berarti ia telah melakukan sebuah kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Akan tetapi, mungkin saja kekafiran yang kecil ini mengeluarkannya kepada kekafiran yang besar -seperti yang telah saya terangkan secara terperinci di Masjid al Istiqlal kemarin.3 Yaitu, apabila ia menganggap dan berkeyakinan halal atau bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah; atau ia berkata, saya tidak merasa wajib atau harus berhukum dengan hukum Allah; atau berkata, berhukum dengan selain hukum Allah lebih baik daripada berhukum dengan hukum Allah; atau berkata, hukum-hukum dan undang-undang lainnya sama saja dengan hukum Allah; atau berkata, saya bebas (terserah saya mau berhukum dengan hukum Allah atau selainnya, sama saja); dan perkataan lainnya yang senada dengannya. Maka, berarti ia -dengan kesepakatan para ulama Ahlus-Sunnah- telah melakukan kekafiran yang besar (keluar dari Islam, Red.), wal 'iyadzu billahi tabaraka wa ta'ala.

Berarti, selama negara-negara Islam kini sudah ada dan tegak, yang dituntut untuk kita lakukan adalah memperbaiki keadaan negara-negara Islam ini, dengan metode yang telah diajarkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ; baik dalam cara berdakwah, pembinaan umat berdasarkan metode at-tashfiyah wat- tarbiyah (memurnikan umat dari kesyirikan, bid'ah dan maksiat, kemudian membina membimbing mereka memahami Islam dengan baik dan benar), bukan dengan cara-cara yang saat ini gencar dilakukan oleh sebagian golongan-golongan atau partai-partai. Seperti melakukan kudeta-kudeta militer, pemberontakan-pemberontakan, aksi-aksi mogok, atau bahkan -lebih ironi lagi- mengadakan aliansi dengan negara-negara kafir, demi menggulingkan pemerintah negara Islam, atau usaha-usaha lainnya.
Ketahuilah! Justru semua ini semakin menambah perpecahan dan kelemahan kaum Muslimin di banyak negara-negara Islam!

Jadi, yang kita lakukan ialah mengadakan perbaikan-perbaikan pada pemerintah negara-negara Islam saat ini. Kita pun berusaha menyatukan seluruh negara-negara Islam, agar mereka saling bekerjasama, bersatu, menolong antara yang satu dengan yang lainnya; dan akhirnya mereka seperti firman Allah berikut:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ ...

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…. (QS at Taubah/9:71).
Hendaknya kita selalu ingat dan tidak lupa bahwa orang-orang kafir, walaupun kekafiran mereka berbeda-beda, negara mereka pun berbeda-beda, namun -hendaknya kita tetap waspada dan siaga- bahwasanya mereka senantiasa melakukan penyatuan-penyatuan yang terorganisir sesama mereka, baik dalam masalah politik, perekonomian, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Karena (mereka pun tahu) bahwa bersatu merupakan kekuatan.

Oleh karena itu, di antara tujuan kita (dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang kehidupan) adalah yang seperti Syaikh kami (al Albani rahimahullah ) selalu menuliskan di dalam buku-buku beliau, berupaya menuju kehidupan yang Islami.

Tentu saja, beliau tidak bermaksud bahwa kehidupan Islami saat ini tidak ada sama sekali! Akan tetapi yang beliau maksud, bahwa kehidupan Islami yang ada saat ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari agama Allah. Maka dari itu, kita harus berdakwah kepada manusia dan kaum Muslimin seluruhnya, menuju penegakkan syari'at Allah dalam seluruh bidang kehidupan mereka; baik dalam bidang politik, perekonomian, atau pun ilmu pengetahuan. Demikian pula dalam hubungan nasional maupun internasional, baik bersama kawan atau pun lawan.

Inilah sekilas dan pandangan kita (tentang bernegara) secara umum dan singkat. Metode kita ialah melakukan perbaikan-perbaikan dengan cara berdakwah mengajak manusia kepada Allah, memurnikan mereka dari polusi kesyirikan, bid'ah, dan maksiat, lalu membimbing dan membina mereka kepada pemahaman dan praktek Islam yang baik dan benar. Seperti firman Allah:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…. (QS an Nahl/16:125).

Kita juga jangan sampai melupakan, wahai Saudara-saudaraku, bahwa tegaknya Daulah Islamiyah merupakan pemberian dan karunia Allah semata bagi hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertakwa. Jika kita beramal, juga orang-orang shalih beramal, maka sesungguhnya kekuatan, kekuasaan dan kejayaan Islam merupakan janji Allah.
Allah berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembahk-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku…. (QS anNur/24:55).

Dan kami berikan kabar gembira kepada Anda semua, bahwa masa depan adalah milik Islam yang benar dan lurus, yang berada di atas manhaj as-Salafush-Shalih. Manhaj yang diberkahi Allah, yang mengikat manusia agar senantiasa berhubungan dengan Allah dan melaksanakan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang akan membawa mereka semua kepada keimanan, keamanan, dan kedamaian.

Kami memohon kepada Allah agar memberikan taufiq-Nya selalu kepada setiap Muslim.


(Ceramah Syaikh Salim bin 'Id al Hilali –hafizhahullah- di Jakarta Islamic Center (JIC), Ahad, 23 Muharram 1428H/11 Februari 2007M)


____________________Foot Note:
1 Lihat Majalah As-Sunnah, Liputan Edisi 01/XI/1428H/2007M, Rubrik Manhaj, Salafiyyun Menepis Tuduhan Dusta, ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari –hafizhahumallahu, di Masjid Islamic Center Jakarta, hari Ahad, 23 Muharram 1428H / 11 Februari 2007M.

2 Lihat risalah ilmiah Syaikh Salim bin 'Id al Hilali yang menjelaskan masalah ini secara gamblang dan terperinci, Qurratu 'Uyun fi Tash-hihi Tafsiri 'Abdillah Ibni 'Abbas li Qaulihi Ta'ala: Wa Man lam Yahkum bi Ma Anzalallahu fa Ula-ika Humul Kafirun.

3 Ceramah di Masjid al Istiqlal Jakarta, hari Sabtu, 22 Muharram 1428H / 10 Februari 2007. Pembahasan yang dimaksud kami angkat pada edisi ini dalam satu rangkaian Rubrik Manhaj. Lihat jawaban Fadhilatusy-Syaikh Salim bin 'Id al Hilali hafizhahullah- tentang Kufrun Duna Kufrin.

Rumah Tangga Yang Bagaimana?

Written by Abu Muslim on 19.49

Membangun rumah tangga yang ideal adalah dambaan setiap muslim yang hendak mengarungi bahtera rumah tangga. Dan ketika pernikahan itu tiba, semua doa tercurah dari para yang hadir, doa agar kelak dapat meraih rumahtangga yang sakinah, mawaddah warohmah dan sebagainya...Timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya rumah tangga yang diliputi sakinah(ketentraman jiwa), mawaddah(rasa cinta), warohmah(kasih sayang) itu ?

Membangun sebuah keluarga ibarat membangun sebuah negara. Sedangkan Rumah Tangga yang diliputi sakinah, mawaddah warohamah sendiri merupakan gambaran ideal sebuah rumahtangga menurut islam. Hal ini seperti yang Allah firmankan :

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Dalam meraih rumah tangga yang dicita-citakan itu bukanlah perkara mudah, ada hak dan kewajiban yang benar-benar harus dijalankan oleh kedua pasangan lalu harus memahami tugas dan fungsinya masing-masing, setelah itu melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab. Selain itu juga harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, dan bergaul dengan cara yang baik. Yang paling utama adalah dalam menjalaninya haruslah dibarengi keikhlasan serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala.


Tanpa itu semua mustahil pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Oleh karena itulah kenapa setiap muslim dan muslimah benar-benar harus membekali diri mereka masing-masing dengan ilmu yang syar'i.

Tapi yang namanya manusia tetap saja tidak bisa dilepaskan dari yang namanya kelemahan dan kekurangan. Ujian dan cobaan pasti akan silih berganti mengiringi kehidupan manusia hingga tak heran bila diawal-awal pernikahan kehidupan pasangan yang tadinya adem ayem jauh dari percekcokan menjadi penuh kemelut.

Mungkin kita beranggapan bahwa yang namanya percekcokan dalam rumah tangga itu sudah biasa, tapi bagaimana bila kemudian meluas hingga menjadi sebuah perselisihan yang sangat membahayakan stabilitas rumah tangga itu sendiri? maka secepatnya harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan adalah :
  • Saling introspeksi, masing-masing harus sadar dengan kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan
  • Memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepadaNya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya.
Jika cara-cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun isteri untuk mendamaikan keduanya.

Jalan ini sesuai dengan apa yang Allah firmankan:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu ermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An Nisa :34-35)


Tapi kalau masih gagal dan tidak ada titik temu dalam menyelesaikan masalah ini maka ada jalan terakhir yang diberikan oleh islam yaitu "perceraian". Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum thalaq (cerai) dalam syari’at Islam.Namun yang harus diingat bahwa berdamai adalah lebih baik dari pada berpisah dan bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut. Perceraian adalah perbuatan yang dicintai syaitan.

Allah Ta’ala berfirman.
“Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah.” [Al-Baqarah : 102]

Meskipun thalaq (cerai) itu dibolehkan dalam ajaran Islam, tetapi seorang suami tidak boleh begitu saja memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan thalaq (cerai), ia harus berfikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berfikir tentang dirinya, isterinya dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari Kiamat.

Bila dikhawatirkan terjadi perpecahan antara suami isteri, hakim atau pemimpin haruslah mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak isteri untuk mengadakan perdamaian diantara keduanya. Apabila keduanya damai, maka alhamdulillaah. Tapi kalau permasalahan terus berlanjut dan keduanya tidak mampu lagi mempertahankan batasan-batasan yang Allah sudah tentukan untuk keduanya. Yaitu bila isteri tak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak isterinya, serta batas-batas Allah menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti yang Allah firmankan:

"Artinya : Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya), Mahabijaksana.” [An-Nisaa' : 130]

Kemudian bagi isteri, bagaimana pun kemarahannya kepada suami, hendaknya ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada isteri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya. Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si isteri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma Surga, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma Surga.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tir-midzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, ath-Thabari, al-Hakim, al-Baihaqi, dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu.]

Nah, sudah seharusnya kita berupaya untuk melaksanakan pernikahan secara Islami dan membina rumah tangga yang Islami, serta berusaha meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” [Ali ‘Imran : 19]


“...Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]

Semoga apa yang kita cita-citakan mendapat keridhaan Allah Subhanahu Wa ta'ala.


Bagi Yang Tahu Betapa Pentingnya Ilmu

Written by Abu Muslim on 18.44

Kenapa kita perlu berbicara tentang ilmu syar'i? Tidak diragukan lagi bahwasanya kebangkitan Islam, dalam bentuk apapun juga, jika tidak berdiri di atas ilmu syar'i yang benar, bersumber dari Al-Quran dan sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, maka akan berakibat kehancuran dan kemusnahan. Karena tanpa ilmu syar'i perbuatan laksana bulu diterpa angin. Terkadang digerakkan ke kanan oleh perasaan hati yang kering dari ilmu syar'i, terkadang pula condong ke kiri oleh semangat membabi buta. sehingga kebangkitan seperti ini berakhir dengan keruntuhan dalam waktu yang sangat singkat.

Berbeda dengan semua itu, apabila seorang pemuda dibina untuk menuntut ilmu syar'i yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i dan fenomena Rabbani, lalu mengamalkan isinya dan berpegang teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini akan tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai tumbuh dan berkembang hingga mencapai masa matangnya. Setelah itu akan berbuah yang baik dan masak, sebagaimana firman Allah,

"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (Al-A'raf: 58)

Adalah penting bagi kita untuk berbicara mengenai motivasi belajar ilmu syar'i mengingat kita tengah berada di zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keingainan belajar ilmu syar'i semakin melemah dan kemauan untuk belajar dan mengajarinya semakin menurun.

Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir Ath-Thabrani. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, "Apakah kalian siap untuk menulis sejarah?" para murid bertanya, "Berapa lembar?" Ibnu Jarir berkata, "Tiga puluh ribu lembar." Mereka berkata, "Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umat." Ibnu jarir berkata, "la haula wala quwata illa billah, semangat sudah mati." (lihat Tarikh Baghdad, Khatib Al-Baghdady, hal: 2)

Lantas apa sekiranya yang akan dikatakan Ibnu Jarir ketika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak bisa memaksa dirinya untuk menulis atau menghafal tiga puluh lembar?


Pendapat Ulama Salaf Mengenai Ilmu Syar'i

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Orang-orang lebih butuh kepada ilmu melebihi kebutuhannya akan makanan dan minuman. Yang demikian itu karena seseorang terkadang hanya butuh kepada makan dan minum hanya sekali atau dua kali saja. Sementara kebutuhan dia terhadap ilmu sejumlah detak nafasnya." (lihat Tahdzibu Madarijis Salikin, Ar-Rasyid)

Imam Syafi'i pernah ditanya, "Bagaimana semangat anda untuk ilmu?" Beliau menjawab, "Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga." Lalu ditanya, "Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?" Beliau menjawab, "Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan dengan hartanya." "Bagaimana anda mencarinya?" beliau menjawab, "Sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain, selain dia." (lihat Tawaalit Ta'sis bi Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)


Keutamaan Ilmu Syar'i

Ilmu syar'i dimuliakan oleh Allah dengan beberapa kelebihan, dan dikhususkan dengan berbagai kekhususan. Allah tidak memberikan kelebihan dan kekhususan itu pada ibadah-ibadah lainnya. Perhatikanlah wahai saudaraku yang tercinta, tentang kemuliaan ilmu syar'i dan keutamaannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,:

"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata, "Setiap jalan, baik konkret maupun abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam sabda Nabi, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (lihat Kitab Fatawa As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623)

Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Allah berfirman,

Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)

Allah tidak pernah memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena keutamaan, kemuliaan dan kedudukan ilmu itu tinggi di sisi Allah.

Allah memerintahkan manusia untuk kembali kepada orang-orang yang berilmu, bertanya kepada mereka tentang permasalahan agama, dan menjadikan perbuatan itu sebagai kewajiban, sebagaimana firman-Nya,

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl:43)

Selanjutnya, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Dalil ini menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu, dan diberi kedudukan yang berbeda dengan yang tidak berilmu. Bagaimana dengan anak Adam? Allah Berfirman,

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al-Maidah: 4)

Bayangkan, seandainya tidak karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih akan sama.

Ilmu syar'i adalah warisan Nabi. Khatib Al-Bagdadi menyebutkan seorang Arab Badui yang melintas ketika Abdullah bin Mas'ud mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelingnya. Badui itu berkata, "Untuk apa mereka berkumpul?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Mereka bekumpul untuk bagi-bagi warisan Nabi." (lihat Syarafu Ashabil Hadits, Khatib Al-Baghdadi)

Hal ini sejalan dengan sabda Nabi,

"Keutamaan orang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi. Seorang Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami', No 4212)

Adalah hak Beliau untuk dijaga warisannya dari kebinasaan dan kemusnahan. Semua ini tidak bisa dilakukan kecuali mempelajari ilmu syar'i dan meraihnya.

Bukti kemuliaan ilmu di sisi Allah adalah pahala mengajarkan ilmu syar'i akan sampai kepada orang yang mengajarkannya, meskipun dia telah mati dan berada di dalam kuburan. Seakan-akan mengalirnya pahala ilmu itu setelah kematiannya adalah kehidupan kedua baginya. Dari Abu Hurairah, bahwasanya rasulullah bersabda,

"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (orang tuanya)." (HR.Bukhari & Muslim)


Hukum Menuntut Ilmu Syar'i

Tidak semua hukum menuntut ilmu dalam setiap keadaan adalah sunnah. Yakni, diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Ada beberapa keadaan yang menuntut ilmu menjadi sesuatu yang wajib ‘ain bagi setiap orang, dan ia akan berdosa bila tidak melakukannya, sebagaimana sabda Nabi, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim." (HR. Muslim)

Kewajiban dalam hal ini berbeda pada setiap orang sesuai dengan kedudukannya. Kewajiban seorang pemimpin mempelajari ilmu tentang rakyatnya tidak sama dengan kewajiban seorang suami pada keluarga dan tetangganya. Kewajiban pedagang untuk mempelajari ilmu tentang jual beli tidak sama dengan mereka yang bukan pedagang. Intinya adalah harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Seorang muslim wajib mempelajari ilmu terhadap sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya, yang mana tanpa ilmu, bisa menghalanginya dalam melakukan sesuatu tersebut dengan benar. Misalnya, ketika seseorang hendak mengerjakan shalat, maka ia harus mempunyai ilmu tentang shalat, jika tidak maka ketidaktahuannya tentang shalat akan menghalanginya untuk dapat shalat dengan cara yang benar. Apabila ia mempunyai harta yang harus di zakatkan dan sudah terpenuhi persyaratan wajib zakat, maka wajib baginya mengkaji hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat. Begitulah seterusnya dalam setiap urusan seperti juga puasa, haji, muamalah dan lainnya.

Dalam keadaan yang lain, menuntut ilmu bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat secara umum. Bila tidak ada yang melakukannya atau untuk bisa mewakilinya, maka semua umat Islam akan berdosa. Dan ada kalanya menuntut ilmu itu hanya dihukum sebagai sunnah saja.


Kriteria Ilmu Syar'i

1. Ilmu syar'i yang benar adalah ilmu yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh (generasi sahabat dan tabi'in serta tabi' tabi'in)

2. Ilmu syar'i adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas'ud berkata, "Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

3. Ilmu syar'i yang harus kita raih adalah ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal dan mempraktekkan ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Buah ilmu yang sebenarnya adalah mengamalkan ilmu itu.


Bahan bacaan: 102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, karangan Abul qa'qa' Muhammad bin Shalih Alu Abdillah.