Jangan Gampang Memvonis Mati Syahid !

Written by Abu Muslim on 22.44

Al Ustadz Qomar ZA, Lc


Eksekusi 'Syahid'?


Pelaksanaan eksekusi pada hari Ahad dini hari tanggal 9 November 2008 M atas tiga aktor bom Bali I, Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas, mengundang perhatian banyak kalangan dari seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya nasional bahkan internasional. Hal inilah yang mengundang mereka berkomentar, baik atas pelaksanaan eksekusi tersebut maupun atas kematian mereka dengan eksekusi itu, kontroversipun terjadi, sebagian pihak menyanjung mereka, sebagian pihak membenarkan hukuman eksekusi tersebut, sementara yang lain menentangnya. Kontroversi semacam ini terjadi karena masing-masing menilai dari sudut pandang yang berbeda, sehingga wajar saja kalau mereka berselisih pendapat, karena dasar berpendapatnya saja berbeda.


Sayang, tak sedikit dari umat Islam dengan status sosial yang berbeda-beda, turut pula ramai-ramai ikut andil berkomentar dalam peristiwa ini. Mereka tidak memandangnya dari sudut pandang ajaran Islam yang murni, bahkan cenderung menggunakan perasaan, apakah dengan perasaan kasihan, atau sebaliknya semata-mata dengan perasaan benci dan marah, sehingga muncullah hasil yang berbeda karena berlandaskan perasaan yang berbeda. Sebagian lagi membubui penilaiannya dengan pengetahuan tentang ajaran Islam yang minim dan yang sudah tercampur dengan gaya berpikirnya para korban eksekusi, sehingga tak segan-segan memastikan mereka sebagai syahid, pahlawan, pasti senang di surga, di sorga dibawa oleh burung hijau, disambut para bidadari dan pujian-pujian semacam itu.

Tak pelak lagi, kejadian-kejadian paska pelaksanaan sampai pada penguburan-pun dikait-kaitan dengan vonis ‘kebahagiaan’ di atas, ada yang bilang bahwa jenazahnya wangi, mukanya tersenyum, cuaca mendadak menjadi mendung, disambut burung belibis hitam - yang diartikan bidadari menjelang penguburan pertanda jenazah mereka diterima Allah - dan hal-hal semacam itu. Bahkan lebih parah, sebelum pelaksanaan eksekusi pun sudah dikomentari bahwa mereka bakal dapat bidadari. Subhanallah…

Sekilas saya membaca komentar-komentar semacam itu, membuat saya terpanggil untuk menulis makalah ini, tak lain tujuannya adalah untuk berupaya meluruskan cara berpikir kaum muslimin sehingga tidak bermudah-mudahan untuk mengeluarkan vonis positif atau negatif, terlebih dalam urusan semacam ini yang lebih sarat dengan urusan ghaib, urusan akhirat yang hanya di sisi Allah Ta’ala sajalah pengetahuannya.

Ya, tak sedikit mereka yang telah menjadi korban ‘komentar tanpa ilmu’, sehingga jangan dianggap angin lalu. Semua ucapan yang kita ucapkan dicatat oleh para malaikat dan menjadi dokumen pribadi kita, untuk kemudian akan kita pertanggung jawabkan di sisi Allah Ta’ala kelak.

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir [Qoof:18]

Perlu dicamkan, bahwa urusan nasib seseorang di akhirat itu bukan urusan kita, bahkan itu urusan ghaib yang hanya Allah Yang Maha Tahu yang memiliki pengetahuan tentangnya. Sehingga seseorang yang mengatakan bahwa mereka itu syahid, berarti ia – tanpa ilmu - telah menvonisnya pasti masuk ke dalam surga, ya, pasti tanpa ilmu, karena hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahui nasib mereka dia akhirat kelak.

Wahai kaum muslimin, kita mesti mengingat firman Allah Ta’ala:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isra’:36]

Janganlah karena dorongan emosional, lalu kita berbicara tanpa ilmu yang berakibat mencelakakan kita sendiri.

Dahulu di zaman Nabi sempat muncul beberapa kejadian yang membuat sebagian sahabat mengeluarkan vonis kebahagiaan di akhirat kepada beberapa sahabat yang lain, namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menampik persaksian mereka itu, karena hal semacam ini tidak ada yang tahu termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalaulah tanpa berita wahyu dari langit Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengetahui.

Suatu ketika seorang sahabat mulia Utsman bin Madz’un meninggal dunia, segeralah seorang wanita mempersaksikan baginya kemuliaan di Akhirat, namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas persaksiannya. Kisah berharga tersebut termaktub dalam kitab Shahih Al-Bukhari, bahwa seorang wanita bernama Ummul ‘Ala, wanita Anshor yang pernah berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkisah bahwa saat itu dibagikan undian orang-orang muhajirin, maka kami mendapatkan bagian Utsman bin Madz’un sehingga kami menempatkannya di rumah kami, tapi ia dirundung sakitnya yang menyebabkan kematiannya, maka ketika beliau wafat dan dimandikan lalu dikafani dengan kain kafannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, aku-pun mengatakan,

رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لقد أَكْرَمَكَ الله
“Rahmat Allah atas dirimu wahai Abu Saib (Utsman bin Madz’un), persaksianku terhadap dirimu bahwa Allah telah memuliakan dirimu”, maka serta merta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وما يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمَهُ فقلت بِأَبِي أنت يا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ الله فقال أَمَّا هو فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ والله إني لَأَرْجُو له الْخَيْرَ والله ما أَدْرِي وأنا رسول اللَّهِ ما يُفْعَلُ بِي قالت فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Darimana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya”. Akupun mengatakan, ”Ayahku sebagai tebusanmu Wahai Rasulullah, lalu siapa yang Allah muliakan?” Rasulullah menjawab: ”Adapun dia maka telah datang kematiannya, demi Allah aku benar-benar berharap untuknya kebaikan, demi Allah saya sendiri tidak tahu -padahal aku ini adalah utusan Allah- apa yang nantinya akan diperlakukan terhadap diriku”. Ummul ‘Ala mengatakan: Demi Allah aku tidak lagi memberikan tazkiyah (persaksian baik) setelah itu selama-lamanya.

Coba renungi kisah ini, siapakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah Utsman bin Madz’un dan siapakah Ummul ‘Ala.

Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sudah jelas bagi kita siapakah beliau, adapun Utsman bin Madz’un maka beliau termasuk orang–orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqunal awwalun) Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang ke 14 dalam masuk Islam, beliau ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama anaknya, beliau termasuk pasukan perang Badar. Demikian biografinya sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah. Ummu ‘Ala sendiri adalah Shahabiyyah (sahabat wanita) yang mulia periwayat hadits Nabi, dan salah seorang wanita yang berbai’at kepada Nabi, siap untuk tunduk patuh kepada titahnya.

Marilah kita renungkan, seorang wanita mulia bersaksi atas kebahagiaan seorang lelaki yang hidupnya penuh dengan perjuangan besar, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan persaksiannya, lebih daripada itu, beliau tegaskan bahwa beliau sendiri sebagai seorang Rasul tidak mengetahui nasib dirinya.
Sementara di waktu lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga pernah bersaksi atas kebahagiaan di akhirat untuk seorang anak kecil yang meninggal dunia. Diriwayatkan sbb :

عن عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قالت دُعِيَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى جَنَازَةِ صَبِيٍّ من الْأَنْصَارِ فقلت يا رَسُولَ اللَّهِ طُوبَى لِهَذَا عُصْفُورٌ من عَصَافِيرِ الْجَنَّةِ لم يَعْمَلْ السُّوءَ ولم يُدْرِكْهُ قال أَوَ غير ذلك يا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لها وَهُمْ في أَصْلَابِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ لِلنَّارِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لها وَهُمْ في أَصْلَابِ آبَائِهِمْ
Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata bahwa Rasulullah pernah diminta untuk menyolati jenazah seorang anak dari Al-Anshor, maka aku katakan: ”Wahai Rasulullah beruntung anak ini, (ia menjadi seekor) burung ushfur dari burung-burung ushfur di dalam Surga, ia belum berbuat kejelekan sama sekali dan belum menjumpainya. ” Nabi menjawab: ”Atau (bahkan) selain itu, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menciptakan untuk surga penghuninya, Allah ciptakan mereka untuk surga sejak mereka berada pada tulang sulbi ayah-ayah mereka, dan Allah menciptakan untuk neraka penghuninya Allah menciptakan mereka sejak mereka dalam tulang sulbi ayah-ayah mereka. ” [Shahih HR Muslim]

Ya, seorang bocah yang masih suci belum melakukan kejelekan dan belum menjumpainya sebagaimana tutur Aisyah, dan ia adalah seorang anak sahabat Anshor sehingga ‘Aisyah-pun bersaksi atas kebahagiaannya. Ternyata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menegur ‘Aisyah atas persaksiannya, mengapa? Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri waktu itu belum tahu tentang nasib anak-anak muslim itu. Ulama yang lain mengatakan --atas dasar bahwa anak muslim nantinya bakal di surga dan itu telah disepakati ulama-- bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melarang ‘Aisyah untuk terburu-buru memastikan sesuatu tanpa ada dalil yang pasti. Hal itu karena ini adalah urusan ghaib, urusan akhirat yang hanya di Tangan Allah dan manusia tidak tahu-menahu tentangnya.

Bahkan dalam kejadian lain, di sebuah perjalanan peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa sahabat sempat memvonis surga bagi seseorang yang mati di sela-sela perjalanan itu, diriwayatkan,

عن أبي هُرَيْرَةَ قال خَرَجْنَا مع النبي صلى الله عليه وسلم إلى خَيْبَرَ فَفَتَحَ الله عَلَيْنَا فلم نَغْنَمْ ذَهَبًا ولا وَرِقًا غَنِمْنَا الْمَتَاعَ وَالطَّعَامَ وَالثِّيَابَ ثُمَّ انْطَلَقْنَا إلى الْوَادِي وَمَعَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَبْدٌ له وَهَبَهُ له رَجُلٌ من جُذَامَ يُدْعَى رِفَاعَةَ بن زَيْدٍ من بَنِي الضُّبَيْبِ فلما نَزَلْنَا الْوَادِي قام عبد رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَحُلُّ رَحْلَهُ فَرُمِيَ بِسَهْمٍ فَكَانَ فيه حَتْفُهُ فَقُلْنَا هَنِيئًا له الشَّهَادَةُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَلَّا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيده إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عليه نَارًا أَخَذَهَا من الْغَنَائِمِ يوم خَيْبَرَ لم تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ قال فَفَزِعَ الناس فَجَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أو شِرَاكَيْنِ فقال يا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ يوم خَيْبَرَ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شِرَاكٌ من نَارٍ أو شِرَاكَانِ من نَارٍ
Dari Abu Hurairah ia berkata: Kami keluar bersama Nabi menuju ke Khaibar, maka Allah memenangkan kami, dan kami tidak mendapat rampasan perang berupa emas, ataupun perak, tapi kami mendapatkan rampasan berupa barang-barang, makanan dan pakaian. Lalu kami beranjak ke sebuah lembah, dan bersama Rasulullah seorang budak, beliau diberi oleh seorang dari bani Judzam, panggilannya Rifa’ah bin Zaid dari bani Dhobib, maka ketika kami singgah di lembah itu budak tersebut bangkit untuk melepaskan bawaan tunggangannya, ternyata dia dilempar panah sehingga itu menjadi sebab kematiannya, kamipun mengatakan: “Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan: “Sekali-kali tidak, demi yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya kainnya akan menyalakan api padanya, ia mengambilnya dari rampasan perang pada perang Khaibar dan belum dibagi.” Abu Hurairah berkata: ”Maka orang-orang sangat takut sehingga ada seorang yang menyerahkan satu tali sandal atau dua tali sandal dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami mendapatkannya pada perang Khaibar,” maka Rasulullah bersabda: “Satu atau dua tali sandal dari neraka.”

Para sahabat mempersaksikan kesyahidan untuk budak tersebut, budak yang membantu Nabi, berjuang bersama beliau, meninggal dalam perjalanan perang yang tentu semuanya itu sebenarnya adalah jihad fi sabilillah. Namun dengan tegas Nabi membantah persaksian mereka, bahkan diiringi dengan sumpah dengan nama Allah, dan bahwa pelanggarannya berupa mencuri selembar kain sebelum dibagi-bagikan menghalanginya untuk mendapatkan kemuliaan syahid, ya, hanya karena selembar kain yang dia curi…
Yang lebih membuat tercengang para sahabat adalah peristiwa lain dimana Nabi bersaksi neraka terhadap seseorang yang berjuang keras dalam berjihad. Imam Al-Bukhari meriwayatkan,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ - رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا ، فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِلَى عَسْكَرِهِ ، وَمَالَ الآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ ، وَفِى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلٌ لاَ يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلاَّ اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ ، فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ » (( وفي رواية فقالوا أينا من أهل الجنة إن كان هذا من أهل النار )) فقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ . قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ . قَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ الرَّجُلُ الَّذِى ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ . فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ . فَخَرَجْتُ فِى طَلَبِهِ ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِى الأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عِنْدَ ذَلِكَ « إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Sahl bin Sa’ad ia mengatakan: Bahwa Rasulullah bertemu dengan orang-orang musyrik sehingga mereka saling menyerang, maka tatkala Rasulullah menuju ke kampnya, dan yang lain juga menuju ke kamp mereka, sementara di antara para sahabat Nabi ada seseorang yang tidak membiarkan seorangpun (dari musyrikin-pent) yang lepas dari regunya kecuali dia kejar dan dia tebas dengan pedangnya. Akhirnya para sahabat mengatakan: “Tidaklah seorangpun dari kita pada hari ini mencukupi seperti yang dicukupi Fulan itu.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya dia termasuk penduduk Neraka” (dalam sebuah riwayat): Maka para sahabat mengatakan: “Siapa diantara kita menjadi penghuni Al-Jannah, bila dia saja termasuk penghuni An-Nar ?”
Maka seseorang diantara orang-orang mengatakan: Aku akan menguntitnya terus. Iapun keluar bersamanya, setiap kali orang itu berhenti ia ikut berhenti, dan jika dia cepat iapun cepat. Ia berkisah: Lalu orang itu terluka dengan luka yang parah, maka ia ingin segera mati sehingga ia letakkan (gagang) pedangnya di bumi dan ujungnya di antara dua dadanya kemudian dia mengayunkan dirinya di atas pedangnya, sehingga iapun membunuh dirinya. Lalu orang yang menguntitnya itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah”. Beliau mengatakan: “Kenapa ?”, Ia menjawab: “Orang yang engkau sebutkan tadi bahwa dia termasuk penghuni Neraka.” Lalu orang-orang tercengang dengan hal itu. Maka aku katakan: “Aku (akan membuktikan) untuk kalian tentangnya. Maka aku keluar menguntitnya sampai ia terluka dengan luka yang parah maka ia ingin cepat mati, akhirnya ia letakkan gagang pedangnya di bumi dan ujungnya di antara dua dadanya, lalu ia ayunkan dirinya di atas pedangnya sehingga iapun membunuh dirinya.“ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang benar-benar beramal dengan amalan penghuni Al-Jannah -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Neraka. Dan sungguh seseorang beramal dengan amalan penghuni Neraka -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Al-Jannah.” [Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim]

Sungguh benar-benar mencengangkan, penjuangan yang begitu gigih dalam jihad di jalan Allah, dan membuat kocar-kacir musuh, ternyata perjuangannya menjadi tidak begitu berarti manakala ia melanggar agama, bunuh diri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah persaksian mereka, hal itu karena kita sebagai manusia, banyak hal yang terluputkan dari kita, kita tidak mengetahui hal yang tersembunyi, hanyalah Allah yang tahu akhir dari nasib seseorang.

Kiranya kejadian-kejadian di atas menjadi pelajaran penting bagi kita semuanya, para sahabat Nabi yang mulia dengan keilmuan dan keimanan mereka bersaksi atas para sahabat yang lain yang memenuhi hari-hari mereka dengan perjuangan dan pengorbanan, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mencegah mereka dari persaksian-persaksian tersebut, kenapa? Sekali lagi ini urusan ghaib yang hanya diketahui oleh Dzat Yang Maha Tahu urusan itu, Allah ‘Azza wa Jalla.

Atas dasar itu, maka menjadi keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mereka saling-mewarisi dan mewariskan dari sejak zaman Nabi hingga kini, bahwa kita tidak bisa memastikan seorangpun secara tertentu dari muslimin bahwa dia akan masuk Surga karena sebuah amalan tertentu. Tentu saja, kepastian atas mereka yang kita peroleh informasinya dari wahyu ilahi, semacam Al-‘Asyroh Al-Mubasyraruna bil Jannah ‘, sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga’, diantaranya khalifah yang empat, atau yang semacam mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang digelari Imam Ahlussunnah, karena kegigihannya dalam memperjuangkan Aqidah, mengatakan:

لا نشهد على أهل القبلة بعمل يعمله بجنة ولا نار نرجو للصالح ونخاف عليه ونخاف على المسيء المذنب ونرجو له رحمة الله
Dan kami tidak bersaksi atas ahlul qiblah (yakni muslimin) karena sebuah amalan yang dia amalkan bahwa ia pasti masuk surga atau neraka, kami berharap baik bagi seorang yang shaleh tapi kami tetap khawatir padanya, dan kami khawatir terhadap mereka yang berbuat jelek, tapi kami tetap mengharap rahmat Allah padanya. [Ushulus Sunnah]

Imam Ahmad yang merasakan pahit getirnya kejahatan penguasa saat itu, penyiksaan, penjara, intimidasi dalam waktu kurang lebih 3 masa khalifah yaitu Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, itu semua karena memperjuangkan aqidah, hampir-hampir nyawa melayang karenanya.

Bahkan sudah melayang nyawa sekian ulama yang mendahului beliau saat itu, namun itu tidak membuat beliau larut dalam perasaan yang membawa kepada persaksian yang tidak benar, walaupun kesedihan terasa begitu mendalam dalam sanubari.

Tidak ketinggalan, Al Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, yang sebagian ulama menyebutnya sebagai kitab yang paling Shahih setelah Kitabullah, oleh karenanya umat Islam menyambutnya dengan lapang dada, beliau meletakkan sebuah bab berjudul:

باب لاَ يَقُولُ فُلاَنٌ شَهِيدٌ
“TIDAK BOLEH SESEORANG MENGATAKAN FULAN SYAHID”

Lalu beliau menyebutkan riwayat :

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - « اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيلِهِ ، اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِى سَبِيلِهِ »
Abu Hurairah berkata dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: ”Allah lebih tahu siapakah yang (benar-benar) berjihad di jalan-Nya, Allah lebih tahu siapakah yang terluka di jalan-Nya. ”

Ibnu Hajar menerangkan: [Tidak boleh Mengatakan Fulan Syahid] yakni dengan memastikan hal itu kecuali dengan (berita) dari wahyu, seolah-olah beliau (Al-Bukhari) mengisyaratkan kepada hadits Umar bahwa beliau berkhutbah lalu mengatakan: “Kalian katakan dalam peperangan-peperangan kalian ‘fulan syahid’ dan ‘fulan mati syahid’, barangkali dia telah memberatkan kendaraannya, ketahuilah janganlah kalian mengatakan semacam itu akan tetapi katakanlah seperti yang dikatakan Rasulullah: “Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia syahid”. Dan itu hadits hasan Riwayat Ahmad dan Said bin Manshur dan selain keduanya.

Aqidah inipun ditegaskan oleh Ath-Thohawi dalam buku aqidahnya:

ونرجو للمحسنين من المؤمنين ان يعفو عنهم ويدخلهم الجنة برحمته ولا نأمن عليهم ولا نشهد لهم بالجنة ونستغفر لمسيئهم ونخاف عليهم ولا نقنطهم
Kami berharap untuk orang-orang yang berbuat baik dari mukminin untuk Allah ampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam Al-Jannah dengan rahmat-Nya dan kami tidak merasa aman atas mereka serta tidak bersaksi bahwa mereka pasti dapat surga. Kami juga memintakan ampun untuk orang-orang yang berbuat jelek dan kami khawatir atas mereka tapi kami tidak putus asa pada mereka.

Dan begitulah sifat seorang mukmin, ia tidak merasa aman tentram dengan amalnya, karena yakin pasti diterima, bahkan ia selalu merasa khawatir, jangan-jangan amalnya tidak diterima,

Aisyah bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah ayat :

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan (yakni dari shodaqoh atau yang mereka amalkan dari amal shalih), dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. [Al-Mukminun:60]
“Apakah maksudnya adalah seorang yang berzina dan meminum khamr serta mencuri?“ Rasulullah menjawab: “Tidak wahai putri Ash-Shiddiq, akan tetapi itu adalah seseorang yang berpuasa shalat, bersedekah dan khawatir amalannya tidak diterima.” [HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Demi Allah mereka mengamalkan ketaatan serta bersungguh-sungguh padanya tapi mereka juga takut kalau amalnya ditolak, sesungguhnya seorang mukmin menyertakan antara perbuatan baik dan rasa khawatir, sementara seorang munafiq menggabung antara perbuatan jelek dan perasaan tenang.” [Lihat Syarh At-Thahawiyah]

Para pembaca yang saya hormati, jujur saja, apakah yang dilakukan Imam Samudra cs suatu amal kebaikan? Seandainyapun itu suatu amal kebaikan, maka itupun tetap tidak membolehkan kita untuk memastikan bahwa itu diterima, bahkan hanya bisa mengharap, lebih-lebih memastikan syahid dan dapat surga serta bidadarinya. Hal itu sebagaimana penjelasan Allah, Rasul dan para ulama, inilah hukum Islam, jika kita mau menegakkan hukum Islam. Tapi kalau ternyata apa yang dilakukannya adalah suatu amal kejelekan, maka ini dari jenis yang kita khawatirkan, bahkan kekhawatiran besar.

Apa sebenarnya yang mereka lakukan?
Mari kita melihat sejenak, mereka telah menyebabkan lenyapnya nyawa seorang muslim, mereka telah membunuh dan melukai ratusan orang kafir para wisatawan asing, mereka telah menghancurkan gedung, mereka telah mengangkat senjata, muslimin kerepotan menerima tuduhan serupa, dan menimbulkan rasa takut di masyarakat, dan beberapa hal lain dengan alasan jihad.

Saya tidak ingin membahas semuanya, namun saya hanya akan menyoroti beberapa hal, itupun dengan singkat, agar tidak keluar dari maksud tulisan ini.

Pertama, menyebabkan lenyapnya nyawa seorang muslim, nyawa muslim walaupun hanya satu orang, maka itu sangat berharga di sisi Allah Ta’ala. Maka tidak boleh melakukan tindak kejahatan terhadap jiwa muslim dan membunuhnya tanpa alasan/cara yang benar. Barangsiapa yang melakukan hal itu berarti telah melakukan salah satu dosa besar dari dosa-dosa besar, Allah berfirman:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [An-Nisa:93] dan berfirman:

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً وَلَقَدْ جَاءتْهُمْ رُسُلُنَا بِالبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُم بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.[Al-Maidah:32]

Al-Imam Mujahid (seorang Tabi’in, Ahli Tafsir) mengatakan: (seperti membunuh semua manusia seluruhnya) “dalam hal dosanya”. Ini menunjukkan besarnya masalah membunuh jiwa tanpa cara/alasan yang benar, dan Nabi bersabda:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إلا الله وَأَنِّي رسول اللَّهِ إلا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang benar selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari 3 perkara: pezina yang telah menikah, jiwa dengan jiwa, orang yang keluar dari agama meninggalkan jama’ah” [Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الناس حتى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسول اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فإذا فَعَلُوا ذلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ على اللَّهِ
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang benar melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, bila mereka melakukan hal itu, mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungannya nanti diserahkan kepada Allah”. [Muttafaqun’alaih dari hadits ibnu Umar]

Dan dalam sunan Nasa’i dari hadits Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ على اللَّهِ من قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
”Sungguh lenyapnya dunia bagi Allah lebih ringan dari terbunuhnya seorang muslim”. [Shahih, HR At-Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu majah dan yang lain Shohih At-Targhib:2439]

وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى الْبَيْتِ فَقَالَ مَا أَعْظَمَكَ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكَ وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكَ
Dan Abdullah Ibnu Umar suatu hari memandang ke Ka’bah seraya mengatakan:”Betapa agungnya engkau dan betapa agungnya kehormatan engkau, tetapi seorang mukmin lebih besar kehormatannya disisi Allah dari pada engkau” [Shahih lighoirihi, HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Shohih At-Targhib:2441]

Kedua, membunuh jiwa mu’ahad (orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai atau keamanan), diantara mereka adalah para wisatawan asing tersebut

Dari Abdullah bin ‘Amr bn Al-Ash dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam ia bersabda:

من قَتَلَ مُعَاهَدًا لم يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ من مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
”Barangsiapa yang membunuh Mu’ahad maka ia tidak mendapatkan bau surga padahal baunya dapat dicium dari jarak perjalanan 40 tahun” [HR Al-Bukhori dan Ibnu Majah]

Dan siapa saja yang dimasukkan oleh penguasa muslim dengan perjanjian aman maka jiwa dan hartanya juga terlindungi, tidak boleh menyentuhnya dan barangsiapa yang membunuhnya maka maka dia seperti yang disabdakan Nabi shallallahu`alaihi wa sallam…”tidak akan mendapat bau surga”, dan ini adalah ancaman yang keras bagi orang yang mencoba membunuh orang yang berada dalam perjanjian aman.
Maksudnya siapa saja yang masuk dengan perjanjian aman dari penguasa untuk kepentingan suatu maslahat yang dia pandang, maka tidak boleh mengganggunya atau bertindak jahat terhadapnya, apakah kepada jiwanya atau hartanya.

Ketiga, melakukan kerusakan di muka bumi, dengan menimbulkan ketakutan melalui aksi terornya, Allah berfirman:

إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [Al-Maidah:33]

Ibnu Katsir mengatakan: kata Muharobah (memerangi) artinya melawan dan menyelisihi dan kata ini tepat diberikan kepada kekafiran atau qoth’u toriiq (penyamun jalanan) serta yang menakut-nakuti manusia dengan kejahatannya di jalanan, demikian pula kata ‘merusak di bumi’ di berikan kepada berbagai macam kejahatan dan kejelekan. [Tafsir Al-Quran Al-Adhim:2/50]

Demikian pula kesimpulan Asy-Syaukani tentang makna ‘kerusakan di muka bumi’: Dan telah diperselisihkan tentang makna kerusakan di muka bumi dalam ayat ini, apakah itu? maka dikatakan dalam sebuah pendapat bahwa itu ‘syirik’. Dikatakan dalam pendapat lain bahwa itu ‘merampok atau mengganggu dengan kejahatan di jalan’, dan yang tampak dari susunan kalimat Al-Quran bahwa kata itu tepat untuk semua yang dapat disebut sebagai kerusakan di bumi, sehingga syirik adalah kerusakan di bumi, melakukan kejahatan di jalan juga kerusakan di bumi, menumpahkan darah dan merenggut kehormatan dan merampok harta juga kerusakan di muka bumi. Serta berbuat jahat terhadap hamba Allah tanpa alasan yang benar juga kerusakan di bumi, menghancurkan bangunan menebang pepohonan dan juga mengeringkan sungai juga kerusakan di bumi, dengan ini engkau tahu dengan tepat untuk menyebut ini semua sebagai kerusakan di bumi…[Tafsir Fathul Qadir]

Maka dari itu, siapapun yang melakukan kejahatan sebagaimana kriteria dia atas maka ia berhak mendapatkan hukuman yang Allah sebutkan dalam ayat yaitu, dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara menyilang atau diasingkan. Hal itu disesuaikan dengan besar kecilnya kejahatan yang dia lakukan setelah dipelajari dan terbukti kejahatannya, hukuman tersebut ditetapkan karena besarnya kejahatan yang dilakukan sehingga Allah menyebutnya sebagai peperangan terhadap Allah dan Rasul terutama bila diantara korbannya adalah muslimin.

Dilihat dari tiga masalah ini saja, maka tampak bahwa apa yang mereka (trio bomber dkk, red) lakukan bukanlah masalah sepele, bahkan merupakan ‘kejahatan kriminal yang amat besar’. Maka hukuman Hirobah-lah yang pantas bagi mereka menurut hukum Islam, seperti yang tersebut dalam surat Al-Maidah di atas, bila mereka konsekuen dengan tuntutan syari’at Islam, maka inilah syariat Islam bagi para pelaku kejahatan semacam ini.

Dari pemaparan setengah singkat di atas, maka sangat keliru, bahkan salah besar, ketika seseorang berani memvonis surga atau syahid untuk mereka dengan amalan tersebut. Dan kesalahan vonis ini bukan hanya untuk mereka, bahkan untuk siapapun, kecuali bila ada wahyu ilahi yang menerangkan kepada kita bahwa seseorang syahid atau pasti masuk surga.

Maka berhati-hatilah, wahai kaum muslimin, untuk bicara tanpa ilmu !

Wallahu Ta'ala A'lam bish Shawab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar ZA, Lc yang dikirim via Email)


Sumber Artikel : http://darussalaf.org/stories.php?id=1320

Cinta Tanah Air Termasuk Ke Dalam Iman?

Written by Abu Muslim on 16.09

Di antara hadits yang masyhur di kalangan kaum muslimin adalah hadits
حُبُّ اْلوَطَنِ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Cinta tanah air termasuk keimanan.”
Asy Syaikh Al Albani berkata (tentang hadits ini) di dalam Silsilah Al Ahadits Adh Dhaifah (1/110):
Maudhu’ (hadits palsu). Sebagaimana yang dikatakan Ash Shaghani (hal. 7) dan juga yang selain beliau.
Dan maknanya tidaklah benar karena cinta kepada tanah air itu seperti cinta kepada dirinya, cinta kepada harta, dan yang sejenisnya. Semua ini adalah perkara yang telah tertanam dalam setiap individu. Tidaklah seseorang dipuji karena mencintai perkara ini, dan tidaklah pula menunjukkan konsekuensi keimanan. Tidakkah Anda lihat bahwa seluruh manusia berserikat di dalam kecintaan ini, tiada beda dalam hal ini antara orang mukminnya maupun orang kafirnya?


(Diterjemahkan dari Silsilah Al Ahadits Adh Dhaifah, nomor hadits 32)

Jangan Jadikan Kuburan Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam Sebagai Sesembahan

Written by Abu Muslim on 16.18

Abu Ibrahim Muhammad Syaifuddin Hakim


Masih banyak kita jumpai kaum muslimin yang bersikap berlebih-lebihan terhadap Rosululloh sholallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengagungkan Nabi dengan melebihi batas, sampai-sampai mengangkatnya kepada derajat sejajar dengan Alloh, yang memiliki sifat-sifat rububiyyah seperti mencipta, mengurus makhluk, mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot. Sehingga mereka pun banyak yang menujukan doa dan permohonan kepada beliau shollallohu 'alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang membuat syair, "Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rosululloh. Telah sempit tipu dayaku maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Alloh". Inilah bukti keberhasilan setan dalam menggelincirkan manusia dari jalan tauhid yang lurus.

Demikianlah sikap berlebih-lebihan mereka, sehingga banyak di antara kaum muslimin yang menjadikan kubur Nabi sebagai sesembahan selain Alloh Subhanahu wa ta'ala. Mereka berdoa dan melakukan berbagai macam aktivitas ibadah di dekatnya.

Makna "Muhammad Rosululloh"

Beriman bahwasanya Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam adalah sebagai utusan Alloh, adalah membenarkan berita yang beliau sampaikan, menaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang serta kita menyembah Alloh dengan apa yang beliau syariatkan. Keempat hal itulah yang merupakan bukti kecintaan dan ketaatan kita kepada beliau shollallohu 'alaihi wa sallam, tidak sebagaimana kaum Nasrani yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Isa 'alaihi salam.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah, 'Hamba Alloh dan Rosul-Nya'" (HR. Bukhori).

Maksud berlebih-lebihan dalam memuji adalah tidak menyembah Muhammad, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka terjerumus kepada kesyirikan. Rosululloh tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot serta tidak pula mengetahui hal yang ghoib. Sebagaimana firman Alloh ta'ala,

"Katakanlah, Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudhorotan kecuali yang dikehendaki Alloh. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghoib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudhorotan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman" (QS Al A'raaf: 188)

Rosululloh mengajarkan kepada kita untuk mengatakan, "Muhammad hamba Alloh dan Rosul-Nya". "Hamba Alloh" maksudnya, bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap beliau, karena beliau adalah hamba dan bukan Robb (Tuhan). "Rosul-Nya" maksudnya, bahwa beliau adalah hamba yang paling mulia yang Alloh pilih sebagai utusannya dan tidak boleh kita dustakan.

Larangan Menjadikan Kubur Nabi sebagai Masjid (baca: tempat beribadah)

Meskipun sudah sedemikian jelas dan gamblang bukti-bukti kebenaran tauhid dan kebatilan syirik, namun banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya dan meremehkannya dengan wujud tidak mau mempelajarinya. Sehingga setan dengan mudah menyesatkan dan mencampakkan mereka ke dalam lembah kesyirikan.

Dan di antara sebab terpenting merasuknya kesyirikan ke dalam diri seseorang adalah sikap berlebih-lebihan terhadap Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan orang-orang sholih lainnya. Mereka menganggap bahwa Nabi adalah makhluk yang paling mulia di sisi Alloh, bahkan memiliki kedudukan yang sejajar dengan Alloh sehingga boleh menujukan berbagai macam ibadah dan doa kepadanya. Oleh karena itu, mereka pun menjadikan kubur Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam sebagai sesembahan selain Alloh subhanahu wa ta'ala. Padahal, terdapat begitu banyak dalil yang menunjukkan keharamannya.

Dalam sebuah hadits dikatakan, "Alloh melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata),'Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid'"(HR. Bukhori)

Dalam hadits yang lain, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat, "Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu dari perbuatan itu" (HR. Muslim)

Demikianlah sikap Nabi yang sangat keras dalam melarang umatnya untuk menjadikan kubur Nabi sebagai tempat ibadah meskipun ibadah tersebut ikhlas ditujukan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala. Kalau menjadikan kubur Nabi sebagai tempat ibadah kepada Alloh saja sudah dilaknat, lalu bagaimana lagi jika ibadah tersebut ditujukan kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam"

Sampai-sampai Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdoa kepada Alloh karena sangat mengkhawatirkan kuburnya akan dijadikan sebagai sesembahan selain Alloh. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ya Alloh! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Alloh sangat murka kepada orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah" (HR. Bukhori)

Dan bukti bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah inilah yang Rosululloh wasiatkan menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. Aisyah dan Ibnu Abbas rodhiallohu 'anhuma berkata, "Tatkala Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika beliau dalam keadaan itulah, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga laknat Alloh ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah" (HR. Bukhori dan Muslim)

Nabi menyampaikan larangan lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Alloh ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa hal itu sangat diperhatikan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Beliau sangat khawatir umatnya akan meniru perbuatan Yahudi dan Nasrani tersebut. Namun tampaknya banyak dari umat ini yang tidak menggubris keprihatinan beliau.


Sesungguhnya wujud cinta kepada Rosululloh adalah berupa ketaatan kepadanya, yang diekspresikan dalam bentuk berdoa (memohon) kepada Alloh semata dan tidak berdoa kepada selain-Nya, meskipun ia seorang Rosul atau wali yang dekat di sisi Alloh ta'ala.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Alloh dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Alloh' (HR. Tirmidzi, hasan shohih). Dan apabila Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dirundung duka cita, maka beliau membaca, "Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan" (HR. Tirmidzi, hasan).


Sumber: Buletin At Tauhid

Kunyah Bagi Yang Belum Punya Anak

Written by Abu Muslim on 15.48

Kunyah (baca: kun-yah) yaitu nama yang diawali dengan "Abu" jika laki-laki dan "Ummu" jika perempuan. Hal ini pada umumnya merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan.

Dari Anas bin Malik berkata: Abu Tholhah memiliki anak yang berkunyah Abu Umair. Nabi apabila datang kepada Ummu Sulaim maka beliau mencandai Abu Umair, suatu saat Nabi melihatnya sedih, maka beliau bersabda: Mengpa saya melihatnya sedih, maka beliau bersabda: Mengapa saya lihat Abu Umair bersedih? Mereka mengatakan: Wahai Rasulullah, burung kecil mainannya mati, kemudian Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:"Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir?!" Anas berkata: Saya tidak pernah menyentuh sesuatu pun baik khuzzah (kain yang terbuat dari wol dan sutra) dan kain sutra yang lebih halus daripada telapak tangan Rasulullah.

Hadist di atas menunjukan disyariatkannya kunyah bagi anak kecil dan bagi orang dewasa, sekalipun belum punya anak. Oleh karena itu, merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikruniai anak. (Al Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (5/26278). Maka hal ini membantah pendapat sebagian kalangan yang melarang kunyah bagi yang belum punya anak. Hal ini diperkuat lagi dengan hadist lainnya sebagai berikut:

Dari Urwah bahwasannya Aisyah Radhiallahu Anha:"Wahai Rasulullah, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku." Maka Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah." Setelah itu Aisyah selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anakpun. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Abdurrazaq )

Hadist ini menunjukan disyari'atkannya kunyah sekalipun belum punya anak. Maka hendaklah kaum muslimin menerapkan sunnah ini baik kaum pria maupun wanita. Karena hal ini termasuk adab Islam yang tidak ada dalam agama-agama lainnya. Sungguh amat disayangkan banyak di antara kaum muslimin sekarang yang melupakan Sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai banyak anak, apalagi yang belum punya anak!

Sumber:
Majalah Al Furqon Edisi 10 tahun ketujuh/ jumada ula 1429 H (Mei-Juni 2008)

Benarkah Belum Di Baiat Berarti Belum Islam?

Written by Abu Muslim on 23.26

Ada beberapa organisasi yang di dalamnya terdapat istilah ulil amri, baiat, dan menganggap orang yang belum dibaiat berarti belum Islam dan dianggap sebagai musuh. Organisasi ini juga selalu mengolok-olok orang dan ormas lain. Apakah benar Islam seperti itu?

Pertama. Anggapan bahwa orang yang belum dibaiat belum Islam.

Anggapan seperti ini tidak benar. Karena berarti mereka beranggapan, baiat sebagai syarat atau rukun Islam. Padahal kita mengetahui, rukun Islam itu lima, dan baiat tidak termasuk di dalamnya. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, antara lain:ِ

Dari Thawus, sungguh seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar radhiallahu'anhu : “Tidakkah Anda berperang?”, maka dia berkata: "Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,'Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima (tonggak), syahadat Laa ilaaha illa Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan haji'.” (HR Muslim, no. (16)-22).

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan -hafizhahullah- berkata: “Hadits ini memiliki urgensi yang besar, karena memberikan penjelasan dasar-dasar dan kaidah-kaidah Islam, yang Islam dibangun di atasnya. Dengannya seorang hamba menjadi muslim. Dan tanpa itu semua, maka seorang hamba lepas dari agama”.(Qawaid wa Fawaid minal-Arba’in Nawawiyah, hlm. 53.)

Selain itu, menilai seseorang sebagai muslim ialah dengan melihat lahiriyahnya. Yaitu barang siapa telah mengucapkan syahadat dan menjalankan shalat, serta tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan Islam, maka di dunia ini seseorang itu dianggap sebagai muslim. Adapun hati dan urusannya di akhirat diserahkan kepada Allah Ta'ala.

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Setiap ulama yang aku menghafal ilmu darinya telah sepakat, jika seorang kafir mengatakan 'asy-hadu an-lâ ilâha illallah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasûluhu (aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya), dan bahwasannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah haq (benar), dan aku berlepas diri kepada Allah dari seluruh agama yang menyelisihi agama Islam,' -ketika mengatakannya itu dia sudah dewasa, sehat dan berakal- maka dia seorang muslim. Jika setelah itu dia kembali (kafir), yaitu menampakkan kekafiran, maka dia menjadi orang murtad”.(Al-Ijma’, hlm. 154. Dinukil dari kitab Mauqif Ibni Taimiyyah minal-Asya’irah, Dr. 'Abdur-Rahman bin Shâlih bin Shâlih al-Mahmud, juz 3, hlm. 940. )

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, nampaknya orang-orang di organisasi yang Anda tanyakan tersebut, salah memahami hadits-hadits tentang kewajiban baiat kepada imam muslimin, seperti hadits yang memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah.(HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari 'Abdullah bin 'Umar.)

Maksud baiat dalam hadits ini ialah baiat taat kepada imam yang disepakati oleh kaum muslimin. Imam yang memiliki kekuasan, menegakkan syariat Islam, hudud, mengumumkan perang maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban dan hak seorang imam. Demikian jenis baiat yang dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Hukum baiat ini adalah wajib, jika memang ada imam kaum muslimin sebagaimana di atas. Melepaskan baiat merupakan dosa besar, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan ulama dalam masalah ini.

Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut.
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka dalam keadaan kacau, tidak memiliki imam”.
(Syarah Muslim, 12/238. )

Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang jahiliyah tidak membaiat imam, dan tidak masuk ke dalam ketaatan imam. Maka barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam ketaatan kepada imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah itu. Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, berarti dia mati seperti keadaan mereka, dalam keadaan melakukan dosa besar”. (Al-Mufhim, 4/59.)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah, ialah seperti matinya orang-orang jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki imam yang ditaati, karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan maksiat. Dan dimungkinkan, bahwa permisalan itu seperti lahiriyahnya; yang maknanya dia mati seperti orang jahiliyah, walaupun dia bukan orang jahiliyah. Atau bahwa kalimat itu disampaikan sebagai peringatan dan untuk menjauhkan, sedangkan secara lahiriyah bukanlah yang dimaksudkan”.(
Fathul-Bâri, 13/9, syarah hadits no. 7054.)

Baiat untuk mendengar dan taat ketika Nabi shallallahu'alaihi wa sallam masih hidup, hanyalah ditujukan kepada beliau. Kemudian setelah beliau Shalallahu Alaihi Wassalam wafat, maka hak menerima baiat itu dimiliki khalifah-khalifah pengganti beliau. Demikian juga menjadi hak para penguasa kaum muslimin yang memiliki wilayah –baik dalam lingkup dunia maupun satu wilayah negara- dan ia memiliki kekuasaan dalam menegakkan agama, hudud, mengumumkan jihad, dan semacamnya.

Baiat taat ini tidak boleh diberikan kepada pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok dakwah sebagaimana yang ada pada zaman ini. Karena baiat taat yang dilakukan Salafush-Shalih hanyalah diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Dengan demikian, orang-orang yang digelari imam, syaikh, amir, ustadz, atau semacamnya yang muncul dari kalangan ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun lainnya, sedangkan mereka tidak memiliki wilayah dan kekuasaan sedikitpun, maka mereka sama sekali tidak berhak dibaiat. Baiat kepada mereka merupakan bid’ah dan memecah-belah umat.

Adapun jika ada imam yang nyata keberadaannya dan disepakati oleh ahlul hali wal-‘aqd (tokoh-tokoh kaum muslimin), ia memiliki wilayah dan kekuasaan serta menegakkan syariat, maka kaum muslimin wajib berbaiat untuk taat kepada imam yang disepakati ini. Konsekwensi baiat ini, ialah taat kepada imam dalam perkara ma’ruf, dalam keadaan suka maupun benci, berat maupun susah, dan tidak melakukan pemberontakan kepadanya. Meninggalkan baiat kapada imam ini merupakan dosa besar. Demikian secara ringkas pembahasan baiat yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.


Kedua. Menganggap orang Islam di luar kelompoknya sebagai musuh dan mengolok-olok orang dari ormas lain.

Kalau memang ada Ormas yang demikian, maka ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. (Qs al-Hujurat/49:11).

Akan tetapi, jika ada orang Islam atau suatu kelompok melakukan kesalahan atau peyimpangan, kemudian dikritik dan dibantah secara ilmiah, dengan tanpa kedustaan, caci maki, dan kata-kata kasar, dan hal itu dilakukan karena Allah semata, maka tentu kritik dan bantahan ini tidak termasuk memperolok atau merendahkannya, bahkan merupakan nasihat dan amar ma'ruf nahi mungkar. Misalnya, seperti peringatan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam terhadap bahaya firqah Khawarij, bantahan para sahabat terhadap firqah Qadariyah, dan bantahan para ulama Ahlus-Sunnah dahulu dan sekarang terhadap orang-orang yang menyimpang.

Wallahu a'lam.



Kebiasaan-Kebiasaan yang Wajib Dijauhi Dalam Perkawinan

Written by Abu Muslim on 21.23

Ana akan menyebutkan sebagian yang harus dijauhi secara mutlak, karena syariat melarangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan ini sering dilakukan ketika dilangsungkannya pernikahan. Tulisan ini saya ringkas dari kitab Isyratun Nisaa' minal Alif ilal yaa' Judul dalam bahasa Indonesia "Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z" oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq.

Mencabut Alis/span>Syaikh al-albani mengatakan :"Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa mencabut alisnya, sehinggah meenjadi seperti busur atau bulan sabit yang mereka lakukan untuk mempercantik diri menurut dugaan mereka, maka hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam dan pelakunya dilaknat; Berdasarkan sabda beliau Shalallahu Alaihi Wassalam:

"Allah melaknat orang yang mentato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan minta dicukur, dan wanita yang direnggangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah."(HR. Bukhari, Muslim, An Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, ad Darimi)

Hal ini diharamkan, walaupun dilakukan untuk suami, karena terdapat larangan yang tegas.



Mentato, Merenggangkan (Mengikir) Gigi Dan Menyambung Rambut

Dalam kitab ash Shahiihain dan selainnya, dari Ibnu Mas'ud Radhiallahu Anhu, ia mengatakan:"Allah melaknat orang yang mentato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan minta dicukur, dan wanita yang direnggangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah."

Hal itu sampai keepada seorang wanita dari Bani Asad yang (biasa) dipanggil Ummu Ya'qub, maka ia datang seraya mengatakan:"Telah sampai kepadaku dari mu, bahwa engkau melaknat demikian dan demikian." Ia (Ibnu Mas'ud) menjawab:"Mengapa aku tidak (boleh) melaknat orang yang dilaknat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam dan orang yang dilaknat Kitabullah?" Ia mengatakan:"Aku telah membaca al Qur'an dan aku tidak mendapati yang engkau katakan." Dia menjawab:"Jika engkau telah membacanya, maka engkau telah mendapatinya. Bukankah engkau membaca:

"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..."(QS. Al Hasyr:7)

Ia menjawab:"Tentu." Dia mengatakan:"Sesungguhnya beliau telah melarangnya." Ia mengatakan:"Aku melihat keluargamu melakukannya." Dia mengatakan:"Pergilah, lalu lihatlah!" Kemudian ia pergi untuk melihatnya, tetapi ia tidak mendapaati sesuatupun dari apa yang ditujunya. Dia meengatakan:"Seandainya ia demikian, niscaya aku tidak menggaulinya."

Dalam kitab ash Shahihain dari Aisyah, bahwa seorang gadis dari Anshar teelah menikah. Kemudian ia sakit sehingga rambutnya rontok, lalu ia ingin menyambung rambutnya, lantas mereka bertanya kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, maka beliau bersabda:

"Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta untuk disambung rambutnya." (HR. Bukhari, Muslim, an Nasa'i, Ahmad)

Adapun keberadaan tato itu najis, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama karena darah tercampur didalamnya. Oleh karena itu, harus dihilangkan walaupun dengan melukainya, jika hal itu memungkinkan.

Syaikh al Fauzan mengatakan:"Diantara menyambung rambut yang diharamkan adalah memakai wig yang dikenal zaman ini, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam:

"Tidaklah seorang meletakan rambut dari rambut selainnya dan memakainya itu suatu penipuan."

Wig adalah rambut buatan yang meenyerupai rambut kepala dan memakainya adalah sebuah penipuan."

Dan berdasarkan hadist Ummul Mukminin, Aisyah tentang seorang gadis yang rambutnya rontok dan Rasulullah melarangnya menyambung rambutnya dengan selainnya. (HR. Bukhari)

Dari Humaid bin Abdirrahman, bahwasannya ia mendengar Mu'awiyyah pada musim haji berada di atas mimbar seraya mengambil sejumlah rambut yang berada di tangan Horasi (hamba sahaya amir) lalu mengatakan, "wahai penduduk Mdinah, dimanakah ulama-ulama kalian? Aku mendengar nabi Shalallahu Alaihi Wassalam melarang perbuatan semacam ini. Beliau bersabda:

"Binasanya Bani Israil adalah ketika wanita-waniat mereka menggunakan ini." (HR. Al Bukhari, Muslim, at Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Malik)

Lalu bagaimana bila dilakukan demi suami? Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa menggunakannya tetap dilarang karena keharamannya tersebut.

Sebagian Ulama menyebutkan bolehnya memakai wig pada saat rambut wanita tidak tumbuh, yakni botak, maka tidak mengapa memakai wig dalam keadaan demikian.



Mencat Dan Memanjangkan Kuku

Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

"Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima; khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuk, dan mencabut bulu ketiak."

Anas berkata:"Rasulullah menentukan waktu bagi kami untuk memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong rambut kemaluan, yaitu tidak dibiarkan lebih daari 40 malam." (HR. Muslim, at Tirmidzi, an Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad."

Syaikh Al Albani Rahimahullah berkata,"Inilah kebiasaan buruk yang ditularkan dari wanita-wanita bangsa eropa kepada kebanyakan wanita muslimah, yaitu mencat kuku mereka dengan warna merah dan memanjangkan sebagiannya. Dan sebagian pemuda pun melakukannya."

Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata:"Tidak boleh memanjangkan kuku; karena memanjangkan kuku menyerupai binatang dan sebagian kaum kafir. mencat kuku sebaiknya tidak dilakukan dan wajib menghilangkannya ketika berwudhu, karena menghalangi sampainya air ke kuku."



Melaksanakan Pesta Di Hotel-Hotel Dan Di Klub-Klub

Dewan Ulama Besar telah menerbitakan surat keputusan yang berisikan nasihat agar pesta perkawinan dilarang diselenggarakan di hotel-hotel, dan hendaklah orang-orang menyelenggarakan pesta perkawinan dirumah-rumah mereka serta tidak memaksakan diri menyelenggarakannya di hotel. karena pesta semacam ini menyebabkan banyak keburukan. Hal ini bertujuan sebagai bentuk belas kasih kepada manusia dan berkeinginan untuk berlaku sederhana, tidak boros dan tidak mubadzir. Sehingga orang-orang yang hidup sederhana dapat melangsungkan pernikahan dan tidak memaksakan diri... (Fatawa al Mar'ah hal.105)

Diantara perkara munkar yang terjadi di hotel-hotel dan klub-klub di berbagai negeri umat muslim ialah bercampur baurnya antara kaum pria dan wanita. nabi shalallahu Alaihi wassalam telah melarang kaum kerabat suami melihat isterinya, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh al Bukahri dari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam:

"Janganlah kalian masuk ketempat wanita."

Seorang Anshar bertanya:"Bagaimana pendapatmu tentang al Hamwu (ipar)?" Beliau bersabda:"Al Hamwu adalah kematian." (HR. Bukhari, Muslim, at Tirmidzi, Ahmad, ad Darimi)

Jika syari'at telah melarang kerabat suami menjenguk isterinya, maka bagaimana halnya selain kerabat suami?

Bersamaan dengan berbaurnya pria dan wanita ini, disana pun wanita pasti bersolek dan berdandan, yang mana kita telah dilarang darinya.

Juga berdandannya wanita dalam pesta dengan dandanan yang tidak ditujukan untuk suami mereka, maka semua itu menyebabkan kaum pria memandang kaum wanita dan wanita memandang pria. Dan berhati-hatilah terhadap apa yang terjadi sesudah itu. Bahkan disamping berhias, kaum wanita pun memakai parffum yang dapat menggoda kaum pria, dengan melupakan sabda nabi Shalallahu Alaihi Wassalam:

"Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melintasi kaum pria agar mereka mencium aromanya, maka dia adalah pezina." (HR. Tirmidzi, an nasa'i, Abu dawud, Ahmad, ad Darimi)

Beliau Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda,

"Sesungguhnya jika wanita keluar rumah, maka syaitan mengawasinya." (HR. Tirmidzi)

Benar, orang-orang yang membiarkan isteri-isteri mereka demikian adalah seperti orang-orang yang disifatkan oleh nabi Shalallahu Alaihi Wassalam sebagai orang yang tidak mempunyai rasa cemburu, dan beliau mengabarkan bahwa mereka termasuk orang-orang yang tidak akan masuk surga. Dayyuts adalah laki-laki yang tidak mempunyai kecemburuan terhadap keluarganya dan menyetujui kenistaan yang ada (terjadi) pada keluarganya.

Setelah meengetahui pengharaman, ancaman dan celaan terhadap tabarruj (bersolek diluar rumah) dan berbaur antara pria dan wanita ini, apakah kita akan membiarkan pesta-pesta kita seperti apa adanya ataukah kita mendengar perintah-perintah Rabb kita dan memisahkan antara pria dan wanita di amna salah seorang dari mereka tidak melihat lawan jenisnya? Orang-orang yang berpesta seharusnya mengetahui bahwa:

"Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh orang yang mengikutinya dan hal itu tidak mengurangi pahala mereeka sedikitpun. Sebaliknya, barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa, sebagaimana dosa-dosa yang diperoleh orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun." (HR. Muslim, At Tirmidzi, Abu Dawud, ad Darimi)

Apakah kita yang sedang mengadakan pesta sudi menyerukan kebajikan sehingga menjadi timbangan kebaikan kita, ataukah malah mengajak kepada kesesatan dan kemaksiatan yang akan menjadi timbangan keburukan kita pada hari kiamat kelak?

Nyanyian - Nyanyian Yang Diharamkan Serta Diiringi Dengan Alat-Alat Musik dan Biduan

Dalil-dalil atas haramnya nyanyian dan alat musik sangatlah banyak, terutama yang disertai dengan lirik cinta serta mengajak kepada kehinaan dan kerusakan.

Diantara dalil-dalil haramnya nyanyian dan alat musik ialah,

Allah berfirman:

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan-perkataan yang tidak berguna..." (QS. Luqman:6)

Para ulama menfsirkan dengan nyanyian. Abdullah bin Mas'ud bersumpah bahwa (maksud) lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian.

Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

"Akan muncul dari umatku beeberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar (arak) dan alat-alat musik. Kemudian beberapa kaum akan benar-benar turun ke sisi gunung, ternak mereka berangkat bersama mereka. lalu seseorang (yang fakir) datang kepada mereka untuk suatu keperluan, maka mereka mengatakan, 'Kembalilah kepada kami besok.' Kemudian Allah menidurkan mereka pada malam harinya dan meruntuhkan gunung, lalu merubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat." (HR. Bukhari)

Sebagian pernyataan Sahabat, Tabi'in dan selainnya tentang haramnya nyanyian dan alat musik:

Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu Anhu berkata: "Nyanyian dan alat musik adalah seruling syaitan."

Imam malik bin Anas Rahimahullah berkata: "Nyanyian hanya dilakukan kaum fasik di kalangan kami."

Para ulama madzhab asy Syafi'i menyerupakan nyanyian dengan kebatilan dan tipu daya.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata:"Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati. Oleh karenanya, aku tidak menyukainya."

Para sahabat Imam Abu Hanifah Rahimahullah berpendapat, mendengarkan nyanyian adalah kefasikan.

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata:"Nyanyian itu permulaan dari syaitan dan akibatnya dimurkai oleh Rabb Yang Maha Pemurah."

Imam al Qurthubi Rahimahullah berkata: "Nyanyian itu dilarang berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah."

Imam Ibnush Shalah berkata: "Secara ijma', nyanyian dengan mengguanakn alat musik adalah dilarang."

Apa setelah mengetahui dalil-dalil keharamannya kita masih mengikuti kebanyakan orang? Ingat firman Allah berikut ini,

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Nya..." (QS. Al An'am)

Kebanyakan orang dimuka bumi senang mendengarkan musik dan sedikit sekali kaum mukmin yang tidak melakukannya karena mentaati Allah. Lalu golongan manakah yang akan engkau ikuti?


Memotret (Fotografi)

Diantara perkara yang tersebar dalam pesta-pesta kaum muslimin ialah pemotretan, kalangan orang-oraang yang tidak memiliki ilmu dan juga orang-orang yang mengikuti syahwat mereka telah berbicara tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.

Al Bukhari meriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda,

"Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan di adzab pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka :'Hidupkan apa yang kalian ciptakan.'" (HR. Bukhari)

Al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu Anhu, ia mengatakan "Aku mendengar Rasulullah bersabda:'Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat ialah para pelukis (yang melukis mahluk bernyawa)" (HR. Bukhari, Muslim)

Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah ditanya tentang hukum memotret, maka beliau berdalil dengan hadits-hadist terdahulu. kemudian menyatakan:"Diharamkan gambar fotografi dan selainnya. Ia hanya dibolehkan dalam suatu keadaan, yaitu keadaan darurat seperti untuk pembuatan paspor, KTP dan selainnya dari hal-hal yang menjadi keharusan dalam kehidupan ini berupa peraturan-peraturan pada sebagian negara."


Cincin Tunangan

Alhamdulillah, sudah pernah saya bahas di sini



Tidak Boleh Menyandingkan Pengantin Pria Bersama Pengantin Wanita

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya: "Apakah boleh menyandingkan pengantin pria dan wanita ditengah-tengah para tamu wanita dalam pesta?"

Jawaban: Perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebab ini adalah bukti atas tercabutnya rasa malu dan taqlid (mengekor) kepada kaum yang suka berbuat keburukan. Bahkan perkaranya jelas. Sebab, pengantin wanita merasa malu menampakan diri dihadapan manusia, lalu bagaimana halnya bersanding di hadapan orang-orang yang sengaja menyaksikan? (Fataawaa Islamiyyah III/188)

Syaikh Ibnu Baaz berkata: "Diantara perkara munkar yang diadakan manusia pada zaman ini ialah meletakan pelaminan untuk pengantin wanita ditengah-tengah kaum wanita dan menyandingkannya suaminya didekatnya, dengan dihadiri kaum wanita yang berdandan bersolek. Mungkin juga ikut hadir, bersama pengantin pria, kaum pria dari kalangan kerabatnya atau kerabat pengantin wanita. Orang yang memiliki fitrah yang lurus dan memili ghirah (kecemburuan) beragama, akan meengetahui apa yang terkaanddung dalam perbuatan ini, berupa keeburukan yang besar, dan memungkinkan kaum pria asing menyaksikan kaum wanita yang menggoda lagi bersolek, serta akibat buruk yang akan dihasilkannya. Oleh karena itu wajib mencegah hal itu dan menghapuskannya, untuk mencegah sebab-sebab fitnahg yang melindungi komunitas wanita dari perkara yang menyelisihi syari'at yang suci..."

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata disalah satu khutbahnya membicarakan tentang teema yang sedang kita bahas disini: "Diantara perkara munkar, bahwa rasa malu sebagian manusia telah tercabut dari mereka. Seorang suami datang di tengah-teengah kaum wanita dan naik pelaminan bersama istrinya di hadapan kaum wanita, yaitu pada awal perjumpaannya dengan isterinya untuk bersanding dengannya, menjabat tangannya, mungkin menciumnya, dan mungkin memberikan hadiah kepadanya beserta permen (coklat) dan selainnya yang dapat menggerakan syahwat bagi orang yang menyaksikannya dan mengakibatkan fitnah." (Min munkaril Afraah hal.7-10)


Larangan Saweran

Al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin yazid Al Anshari, ia mengatakan : "Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam melarang nahbah dan mustlah."

Nahbah adalah apa yang ditebarkan pada saat pesta perkawinan berupa harta, permen, makanan atau coklat.

Mutslah adalah tamtsil (melukai atau merusak anggota tubuh). Diantara mutslah ialah seseorang bernadzar untuk melukai hidungnya, sebagaimana disebutkan dalam hadist Imran bin Husain dalam riwayat Ahmad.

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: "Karena dalam kebiasaan ini (yakni saweran) berisi perebutan, berdesak-desakan, dan perkelahian. Barangkali mungkin diambil oleh orang yang tidak disukai oleh pemilik barang yang ditaburkan tersebut, karena kerakusan dan ketamakannya serta kekerdilan jiwanya. Sementara orang yang disukai pemilik harta yang ditaburkan tersebut terhalang, karena beradab baik serta menjaga diri da kehormatannya. Demikianlah pada umumnya. Sebab orang-orang yang beradab baik akan memelihara dirinya dari berdesak-desakan dengan manusi rendahan untuk suatu makanan atau selainnya. Juga karena ini adalah kehinaan, sedang Allah menyukai perkara-perkara yang luhur daripada berdesak-desakan untuk perkara murahan. yang diperselisihkan hanyalah mengenai kemakruhan hal itu. Adapun kebolehannya maka tidak diperselisihkan di dalamnya, dan tidak pula dalam mengambilnya. Karena ini semacam membolehkan (orang lain) terhadap hartanya, sehingga ini serupa dengan semua hal yang di bolehkan."(Al Mughni bisy Syarhil Kabiir VIII/118)

Asy Syaukani Rahimahullah berkata:"Hadist-hadist tentang larangan adalah shahih dan menunjukan haramnya segala perebutannya." (Nailul Authar VI/185)

Al Hafizh berkata dalam al fath:"Malik dan segolongan ulama memakhruhkan perebutan dalam saweran." (Fathul baari V/20).



Tidak Boleh Mengatakan "Bir Rafaa' Wal Baniin (Semoga Rukun dan Banyak Anak)"

Tidak boleh meengatakan "Bir Raa' wal baniin", sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang tidak mengetahui. Sebab, itu termasuk perbuatan jahiliyyah.

Al hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:"Kalimat ini biasa diucapkan oleh kaum Jahiliyyah sehingga ucapan ini dilarang, sebagaimana diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad dari jalan Ghalib dari al Hasan, dari seseorang dari Bani Tamim. Ia menuturkan: Semasa Jahiliyyah, kami biasa mengucapkan:"Bir Rafaa' Wal banin". ketika islam datang, Nabi kami mengajarkan kami. beliau bersabda:

Ucapkanlah: "Barokallahu lakum. Wabaroka fiykum. Wabaroka alaykum"
'Semoga Allah memberkahi kalian, meemberkahi pada kalian dan memberkahi atas kalian.'

An Nasa'i dan ath Thabrani meriwayatkan dari jalan lain, rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam mengajarkan ucapan,

"Allahumma baariklahum wabaarik alaikum"

"Ya Allah, berkahilah mereka dan berkahilah atas mereka." (Para perawinya tsiqat)



Mencukur Jenggot

Menjadi suatu kebiasaan bagi sebagian laki-laki mencukur jenggotnya ketika akan bepergian atau bila mempunyai suatu keperluan, termasuk ketika melakukan pernikahan. Padahal perkara ini termasuk yang fitrah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah: Rasulullah bersabda:

"Ada sepulu hal yang termasuk ffitrah; Mencukur kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air ke dalam hidung (ketika wudhu), memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan istinja'."

Oleh karenanya mencukur jenggot dinilai sebagai pelanggaran dalam syariat karena alasan-alasan berikut:

Merubah ciptaan Allah :"...Dan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah)..." (QS. An Nisaa':119)

Mencukur jenggot berarti membenci Sunnah nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dan Sunnag Khulafaur Rasyidin serta menyerupai orang-orang kafir.

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Nya takut akan ditimpa cobaan atau di timpa adzab yang pedih." (QS. An Nur: 63)

Rasulullah bersabda:

"Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan golonganku." (HR. Bukhari, Muslim, An Nasa'i, Ahmad)


Qaza'

Yaitu mencukur sebagian rambut dan menyisakan sebagian lainnya. Inilah yang menggejala dan tersebar pada zaman sekarang di antara para pemuda dan orang-orang yang akan menikah, dengan slogan "mode". yaitu mode dalam dunia pria modern dan maju bahwa seorang pria mencukur sebagian rambut kepalanya dan membiarkan sebagian lainnya. Semua itu hanyalah mengikuti tradisi Barat. Sungguh telah benar rasul al Amin Shalallahu alaihi wassalam ketika bersabda:

"Kalian akan mengikuti umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga walaupun seandainya mereka masuk kelubang biawak, maka kalian pun akan mengikuti mereka."

Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhu, ia menuturkan:"Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang qaza' "(HR. Bukhari, Muslim, an nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad)

Dari Ibnu Umar ia menuturkan:"Rasulullah melihat anak kecil yang sebagian rambutnya dicukur dan sebagian lainnya dibiarkan, maka beliau melarang hal itu seraya bersabda:

"Cukurlah rambutnya seluruhnya atau biarkanlah seluruhnya." (HR. Abu Dawud, an Nasa'i)


Kebiasaan Buruk Ketika Merobek Keperawanan

Diantara kebiasaan yang telah merata dan memenuhi lembah dan daratan, serta tersebar di banyak desa dan kota ialah menghilangkan kegadisan dengan jari, dengan cara yang membuat badan merinding karena ketakutan dan membuat perasaan berguncang karena ngeri., sebab perbuatan tersebut sangat membahayakan. Ini adalah kejahtan terhadap kehormatan dan memamerkan rahasia. Jauh lebih buruk lagi bila yang melakukan bukan suaminya, tetapi wanita-wanita bodoh yang didatangkan untuk tujuan ini. Sangat berbahaya bila suaminya yang terperdaya lagi bodoh ini melakukan tindakan ini. lalu ia memasukan jarinya untuk merobek selaput dara keperawanan yang tipis itu. Tindakan ini meninggalkan dampak yang mendalam dalam diri pengantin wanitanya yang memprihatinkan ini. Ia dirundung kecemasan dan ketakutan karena musibah yang keras dan kejahatan yang mengerikan ini. Mereka melakukan kejahatan ini bukan untuk menghilangkan keperawanan yang sebenarnya tidak sulit, tetapi dengan aktifitas ini mereka bertujuan mendapatkan darah keperawanan, yang mana perbuatan tersebut telah dijadikan indah oleh iblis dan sekutu-sekutunya dari syetan jenis manusia, lalu mereka menunjukan apa yang dianggap sebagai kemulian itu kepada musuh-musuh mereka dan siapa saja yang mencari-cari kesempatan untuk menjatuhkan mereka. Mereka lupa dengan hadist:

"Mengapa tidak menikahi gadis saja agar ia dapat bermain-main denganmu dan engkau pun dapat bermain-main dengannya."



Meninggalkan Sholat berjama'ah

Orang yang menikah dengan gadis atau janda tidak boleh meninggalkan sholat berjamaah.

Al Lajnah ad Daaimah ditanya tentang hal itu: Pengantin pria tinggal bersama isterinya; sepekan bersama gadis dan tiga hari bersama janda, tanpa keluar untuk sholat jama'ah. Apakah ini disebutkan dalam sunnah sehingga ia tidak keluar untuk sholat?

Jawaban: Jika seseorang menikah dengan gadis, maka ia tinggal bersamanya selama sepekan kemudia menggilir (isteri-isterinya yang lain). Dan jika janda, maka ia tinggal bersamanya selama tiga hari. Jika ia ingin bersamanya selama sepekan, silahkan melakukannya lalu menggilir mereka untu waktu-waktu yang tersisa. Dasar mengeni hal itu adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Qilabah dari Anas:"Adalah Sunnah jika seseorang menikahi gadis, maka ia tinggal bersamanya selama sepekan lalu menggilir yang lainnya dan jika menikahi janda, maka ia tinggal bersamanya selama tiga hari kemudian menggilir yang lain." Abu Qilabah berkata:"Seandainya aku mau, niscaya aku mengatakan :"Sesungguhnya Anas meriwayatkan secara marfu' dari nabi Shalallahu Alaihi Wassalam." (HR. Bukhari, Muslim, at tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).

Orang yang menikah, baik dengan gadis atau janda, tidak boleeh meninggalkan sholat berjamaah dimasjid, dengan alasan menikah; karena tidak ada dalil atas hal itu. Dari kedua hadist tersebut tidak ada sesuatu yang menunjukan hal itu. (Fataawaa Islamiyyah III/254).



Diharamkan Menyebarkan Rahasia Bersenggama

Allah berfirman:

"Maka wanita yang ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)." (QS. An Nisaa':34)

Sudah menjadi pemandangan umum di tengah kaum muslimin pada saat ini, sebagaimana pada masa jahiliyyah, kaum pria dan wanita membicarakan rahasia seks mereka kepada kawan-kawan atau kerabat mereka. Semestinya mereka menyadari bahwa perbuatan ini diharamkan.

Ahmad meriwayatkan dari Asma' binti yazid, bahwa dia berada di sisi rasulullah sedangkan kaum pria dan wanita sedang duduk, lalu beliau bersabda :

"Mungkin seorang pria mengatakan apa yang diperbuatnya terhadap isterinya dan mungkin seorang wanita menceritakan apa yang diperbuatnya bersama suaminya."

Merekapun diam. Lalu aku mengatakan."Ya, demi Allah, wahai Rasulullah, kaum wanita melakukannya dan kaum priapun melakukannya." beliau bersabda:

"Janganlah kalian melakukannya. perbuatan itu adalah seperti syaitan laki-laki yang bertemu dengan syaitan perempuan di satu sisi jalan lalu menyetubuhinya, sedangkan orang-orang melihatnya." (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad)

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, dari hadist Abu Sa'id al Khudri, ia mengatakan :"Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita bersenggama dengan suaminya kemudian menyebarkan rahasia isterinya." (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad)