Perdebatan Yang Boleh dan Yang Tidak Boleh

Written by Abu Muslim on 17.17

Al Ustadz Abu Karimah Askari bin jamal Al Bugisi


Terdapat nash-nash yang menjelaskan tentang tercelanya berdebat dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.” (Ghafir: 4)

Dan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Ghafir: 56)

Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” (Muttafaq Alaihi)

Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58) [HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633].

Abdurrahman bin Abiz Zinad berkata: “Kami mendapati orang-orang yang mulia dan ahli fiqih -dari orang-orang pilihan manusia- sangat mencela para ahli debat dan yang mendahulukan akalnya. Dan mereka melarang kami bertemu dan duduk bersama orang-orang itu. Mereka juga memperingatkan kami dengan keras dari mendekati mereka.” (lihat Al-Ibanah Al-Kubra 2/532, Mauqif Ahlis Sunnah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili 2/591)

Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Pokok-pokok ajaran As-Sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh di atas metode para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan meninggalkan pertengkaran serta duduk bersama pengekor hawa nafsu, juga meninggalkan dialog dan berdebat serta bertengkar dalam agama ini.” (Syarh Al-Lalika`i, 1/156, Mauqif Ahlis Sunnah, Ar-Ruhaili 2/591).
Wahb bin Munabbih rahimahullahu berkata: “Tinggalkan perdebatan dari perkaramu. Karena sesungguhnya engkau tidak akan terlepas dari menghadapi salah satu dari dua orang: (1) orang yang lebih berilmu darimu, lalu bagaimana mungkin engkau berdebat dengan orang yang lebih berilmu darimu? (2) orang yang engkau lebih berilmu darinya, maka bagaimana mungkin engkau mendebat orang yang engkau lebih berilmu darinya, lalu dia tidak mengikutimu? Maka tinggalkanlah perdebatan tersebut!” (Lammud Durr, karangan Jamal Al-Haritsi hal. 158).

Namun di samping dalil-dalil yang melarang berdebat tersebut di atas, juga terdapat nash-nash lain yang menunjukkan kebolehannya. Di antara yang menunjukkan bolehnya berdebat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125).

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa kisah debat antara Rasul-Nya dengan orang-orang kafir. Seperti kisah Ibrahim ‘alaihissalam yang mendebat kaumnya. Demikian pula debat Nabi Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun, dan berbagai kisah lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur`an. Demikian pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan perdebatan antara Nabi Adam dan Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Banyak dari kalangan imam salaf mengatakan: Debatlah kelompok Al-Qadariyyah dengan ilmu, jika mereka mengakui maka mereka membantah (pemikiran mereka sendiri). Dan jika mereka mengingkari, maka sungguh mereka telah kafir.”

Demikian pula banyak terjadi perdebatan di kalangan ulama salaf, seperti yang terjadi antara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dengan Ghailan Ad-Dimasyqi Al-Qadari, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mendebat kelompok Khawarij, Al-Auza’i rahimahullahu yang berdebat dengan seorang qadari (pengikut aliran Qadariyyah), Abdul ‘Aziz Al-Kinani rahimahullahu dengan Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi Al-Mu’tazili, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dengan para tokoh ahli bid’ah, serta yang lainnya, yang menunjukkan diperbolehkannya melakukan dialog dan debat tersebut. (Mauqif Ahlis Sunnah, 2/597).

Apa yang telah kami sebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam masalah berdebat, tidak dihukumi dengan sikap yang sama. Namun tergantung dari keadaan, tujuan, dan maksud dari perdebatan tersebut. An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Jika perdebatan tersebut dilakukan untuk menyatakan dan menegakkan al-haq, maka hal itu terpuji. Namun jika dengan tujuan menolak kebenaran atau berdebat tanpa ilmu, maka hal itu tercela. Dengan perincian inilah didudukkan nash-nash yang menyebutkan tentang boleh dan tercelanya berdebat.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Pertengkaran dan perdebatan dalam perkara agama terbagi menjadi dua:

Pertama: dilakukan dengan tujuan menetapkan kebenaran dan membantah kebatilan. Ini merupakan perkara yang terpuji. Adakalanya hukumnya wajib atau sunnah, sesuai keadaannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Kedua: dilakukan dengan tujuan bersikap berlebih-lebihan, untuk membela diri, atau membela kebatilan. Ini adalah perkara yang buruk lagi terlarang, berdasarkan firman-Nya : “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.” (Ghafir: 4). Dan firman-Nya : “Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku adzab mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Ghafir: 5) [Mauqif Ahlis Sunnah, 2/600-601]

Ibnu Baththah rahimahullahu berkata:

“Jika ada seseorang bertanya: ‘Engkau telah memberi peringatan kepada kami dari melakukan pertengkaran, perdebatan, dan dialog (dengan ahlul bid’ah). Dan kami telah mengetahui bahwa inilah yang benar. Inilah jalan para ulama, jalan para sahabat, dan orang-orang yang berilmu dari kalangan kaum mukminin serta para ulama yang diberi penerangan jalan. Lalu, jika ada seseorang datang kepadaku bertanya tentang sesuatu berupa berbagai macam hawa nafsu yang nampak dan berbagai macam pendapat buruk yang menyebar, lalu dia berbicara dengan sesuatu darinya dan mengharapkan jawaban dariku; sedangkan aku termasuk orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan ilmu tentangnya serta pemahaman yang tajam dalam menyingkapnya. Apakah aku tinggalkan dia berbicara seenaknya dan tidak menjawabnya serta aku biarkan dia dengan bid’ahnya, dan saya tidak membantah pendapat jeleknya tersebut?’
Maka aku akan mengatakan kepadanya: Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu- bahwa orang yang seperti ini keadaannya (yang mau mendebatmu), yang engkau diuji dengannya, tidak lepas dari tiga keadaan.
Adakalanya dia orang yang engkau telah mengetahui metode dan pendapatnya yang baik, serta kecintaannya untuk mendapatkan keselamatan dan selalu berusaha berjalan di atas jalan istiqamah. Namun dia sempat mendengar perkataan mereka yang para setan telah bercokol dalam hati-hati mereka, sehingga dia berbicara dengan berbagai jenis kekufuran melalui lisan-lisan mereka. Dan dia tidak mengetahui jalan keluar dari apa yang telah menimpanya tersebut, sehingga dia bertanya dengan pertanyaan seseorang yang meminta bimbingan, untuk mendapat solusi dari problem yang dihadapinya dan obat dari gangguan yang dialaminya. Dan engkau memandang bahwa dia akan taat dan tidak menyelisihinya.
Orang yang seperti ini, yang wajib atasmu adalah mengarahkan dan membimbingnya dari berbagai jeratan setan. Dan hendaklah engkau membimbingnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar-atsar yang shahih dari ulama umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Semua itu dilakukan dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Dan jauhilah sikap berlebih-lebihan terhadap apa yang engkau tidak ketahui, lalu hanya mengandalkan akal dan tenggelam dalam ilmu kalam. Karena sesungguhnya perbuatanmu tersebut adalah bid’ah. Jika engkau menghendaki sunnah, maka sesungguhnya keinginanmu mengikuti kebenaran namun dengan tidak mengikuti jalan kebenaran tersebut adalah batil. Dan engkau berbicara tentang As-Sunnah dengan cara bukan As-Sunnah adalah bid’ah. Jangan engkau mencari kesembuhan saudaramu dengan penyakit yang ada pada dirimu. Jangan engkau memperbaikinya dengan kerusakanmu, karena sesungguhnya orang yang menipu dirinya tidak bisa menasihati manusia. Dan siapa yang tidak ada kebaikan pada dirinya, maka tidak ada pula kebaikan untuk yang lainnya. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri taufiq, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meluruskan jalannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong dan membantunya.”

Abu Bakr Al-Ajurri rahimahullahu berkata:
“Jika seseorang berkata: ‘Jika seseorang yang telah diberi ilmu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang masalah agama, lalu mendebatnya; apakah menurutmu dia perlu mengajaknya berdialog agar sampai kepadanya hujjah dan membantah pemikirannya?’
Maka katakan kepadanya: ‘Inilah yang kita dilarang dari melakukannya, dan inilah yang diperingatkan oleh para imam kaum muslimin yang terdahulu.’
Jika ada yang bertanya: ‘Lalu apa yang harus kami lakukan?’
Maka katakan kepadanya: ‘Jika orang yang menanyakan permasalahannya kepadamu adalah orang yang mengharapkan bimbingan kepada al-haq dan bukan perdebatan, maka bimbinglah dia dengan cara yang terbaik dengan penjelasan. Bimbinglah dia dengan ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah, perkataan para shahabat dan ucapan para imam kaum muslimin. Dan jika dia ingin mendebatmu, maka inilah yang dibenci oleh para ulama, dan berhati-hatilah engkau terhadap agamamu.’
Jika dia bertanya: ‘Apakah kita biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kita mendiamkan mereka?’
Maka katakan kepadanya: ‘Diamnya engkau dari mereka dan engkau meninggalkan mereka dalam apa yang mereka bicarakan itu lebih besar pengaruhnya atas mereka daripada engkau berdebat dengannya. Itulah yang diucapkan oleh para ulama terdahulu dari ulama salafush shalih kaum muslimin.” (Lammud Durr, Jamal Al-Haritsi hal. 160-162).


http://www.asysyariah.or.id/



Hak-Hak Istri Terpelihara Dalam Naungan Rumah Tangga Islam

Written by Abu Muslim on 17.08

Ustadz Abu Minhal


Syari'at Islam telah menetapkan hukum-hukum yang menjamin hak-hak wanita dalam rumah tangga. Hukum-hukum tersebut bersifat mengikat, dan merupakan rambu-rambu yang haram dilanggar. Penetapan itu bertujuan untuk memelihara hak-hak istri, menepis tindak aniaya yang mungkin menimpanya, atau kemungkinan terjadi lantaran adanya kurang perhatian dalam pelaksanaannya dari orang-orang yang berkaitan dengan wanita, baik suami, walinya maupun lainnya. Adapun pada pembahasan ini, secara khusus difokuskan pada hubungan antara istri dengan suaminya saja.

Sangat banyak hak yang dimiliki seorang wanita sebagai istri. Hak-hak ini menjadi kewajiban atas suaminya. Sebagian dari hak-hak tersebut telah disinggung Rasulullah Shalallahu Alahi Wassalam dalam hadist berikut:

"Hak wanita-wanita atas kalian (para suami) ialah memberi nafkah, menyediakan sandang dengan cara yang baik." (HR. Abu Dawud)

Demikian itulah keistimewaan yang sangat penting bagi wanita muslimah yang berstatus sebagai istri. Yakni kepastian adanya jaminan pemeliharaan yang utuh terhadap hak-haknya dalam rumah tangga, dan sama sekali tidak ada padanannya dengan undang-undang produk manusia.

Dalam Islam, terdapat beberapa aspek yang mendukung pelaksanaan tanggung jawab suami atas pasangan hidupnya. Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh islam (hak-hak istrinya) dan dijelaskan dalam nash-nash yang sharih (tegas dan jelas, tidak mengandung multi fungsi).

Dari sisi aqidah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala Maha Mengetahui isi hati manusia dalam kesendiriannya maupun saat bersama dengan orang lain. Dia akan membalasnya dengan baik jika memenuhinya, sebagaimana akan menghukumnya atas keengganannya dalam menjalankan kewajiban itu. Selain itu hak-hak sesama tersebut bagaikan hutang yang mesti dilunasi. Seorang yang gugur di medan perang (mati syahid) akan menghadapi persoalan karena hutang, apalagi selamanya.

Adapun hukum-hukum produk manusia yang membicarakan hak-hak istri, tidak mempunyai kekuatan pendorong sebagaimana tertera diatas. Karena, akan dapat disaksikan, lelaki mudah berkelit dari kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan bagi istrinya sendiri. Gejala ini muncul tatkala terjadi pertikaian dan perbedaan pendapat mengenai pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut, karena tidak ada rasa takut kepada Allah Ta'ala dan tipisnya keimanan terhadap hari akhir.

Berikut ini, beberapa kutipan ayat dan hadist yang memuat keterangan tentang kewajiban suami terhadap istrinya, ancaman bagi pihak yang tidak memperhatikannya, saat mereka mengarungi biduk rumah tangga.

Pertama
Diantara dalil tentang kewajiban menyelesaikan hak-hak orang lain secara umum, dan menyelesaikan hak-hak istri secara khusus.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

"Sesungguhnya Allah menyururh kamu menyampaikan amanat kepada berhak menerimanya..."(QS. an-Nisa :58)

Kebanyakan ayat-ayat yang berbicara tentang hak-hak istri berbentuk kalmat perintah. Ini menunjukan betapa kuatnya penekanan untuk masalah ini.

Allah berfirman:

"Berikanlah mas kawin (mahar) keada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..."(QS. an-Nisa:44)

"...Dan bergaulah demga mereka secara patut..." (QS. an-Nisa:19)

"Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu..."(QS. ath-Thalaq: 6)

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Bertakwalah kalian kepada Allah tentang kaum wanita. Sesungguhnya, kalian mengambil mereka denagn amanat Allah. Dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimatullah." (HR, Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wssalam bersabda:

"Berpesanlah untuk wanita dengan baik." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kedua
Diantara dalil larangan menelantarkan hak-hak istri dan melakukan tindakan aniaya kepadanya.

Beberapa ayat menerangkan larangan menzhalimi istri dan mengabaikan hak-haknya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"...dan jangan \lah kamu menusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya..."(QS. an-Nisa:19)

"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepadanya seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata." (QS. an-Nisa :20)

"...maka janganlah kamu (para wali) mengahlangi mereka kawin lagi dengan bakal calon suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma'ruf..." (QS al Baqoroh :232)

Ketiga
Nash-nash yang menerangkan hukuman dan siksa bagi orang yanmg melanggar ketentuan-ketentuan Allah dalam masalah ini dengan cara menindas wanita, tidak memenuhi atau mengurangi hak-hak wanita.

"....Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Alalh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (QS. al-Baqoroh: 229)

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalau mereka meendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memeberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai mainan..." (QS. al Baqoroh :231)

Nash-nash diatas memuat takhwif (ancaman menakutkan ) dan pesan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, Allah berfirman:

"...itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang berimandiantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. al baqoroh:232)

Sementara itu, ancaman juga muncul dari lisan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam yang mulia atas suami yang berbuat tidak adil dan meremehkan hak seseorang istri. Rasulullah Shalallahu Alahi Wassalam bersabda: 'Barang siapa mempunyai dua istri, dan lebih condong pada salah satu istrinya, ia akan datang pada hari Kiamat dengan menyeret salah satu dagunya atau datang dengan jalan miring." (HR. Ahmad, at Tirmidzi, an Nasai. Lihat shahih at Targhib (2/199).).

Demikian sedikit paparan beberapa dalil yang menegaskan tentang pemeliharaan hak-hak istri dalam rumah tangga. Keretakan rumah tangga hanya muncul ketika ada salah satu pihak (atau kedua belah pihak, suami istri ) tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia emaban dan lebih condong hanya untuk hak-hak nya semata.

Wallahu a'lam.


(Diadaptasi dari Dhamanatu Huqiqi al Mar'ati az zaujiyyah, karya Dr. Muhammad Ya'qub Muhammaad ad Dahlawi, penerbit Jami'ah Islamiyyah Madinah cetakan I tahun 1424 H)


Disalin langsung dengan tanpa tulisan arab dari Majalah Assunah edisi 11 tahun XI 1429H/2008