Begitukah Cara Mencintai Rasulullah ?

Written by Abu Muslim on 23.35

Datangnya bulan Rabiul Awal mengingatkan kita pada kelahiran teragung sepanjang sejarah umat manusia. Dia adalah kelahiran Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, utusan Allah Subhanahu Wata'ala yang termulia dan penutup risalah langit.

Berbagai simbol kecintaan pun digiatkan oleh sebagian besar kaum muslimin, digelarlah berbagai lomba yang katanya "islami", dirayakan peringatan Maulid Nabi di berbagai sekolah, masjid dan instansi, bahkan sampai menjadi hari libur nasional di negeri ini. Dengan begitu giat dan "ikhlas" mereka melakukan itu semua. Tenaga, waktu dan harta mereka korbankan demi menyukseskannya, dengan sebuah alasan bahwa itu adalah bentuk cinta kepada Rasul-Nya Shalallahu Alaihi Wassalam.

Namun...? Begitukah cara mencintai beliau Shalallahu Alaihi Wassalam? Pertanyaan inilah yang perlu di munculkan kali pertama.

Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin. Bahwa mencintai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam adalah sebuah ibadah agung yang akan mendatangkan pahala besar. Ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menyebutkan orang yang akan merasakan lezatnya iman, diantaranya Rasulullah menyebutkan:"...seseorang yang mencintaiku lebih dari cinta dia kepada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya serta semua orang lainnya."

Imam Tirmidzi Rahimahullah meriwayatkan dengan sanad shohih daari Anas bin Malik berkata: "Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam lalu bertanya:' Kapan terjadinya haari kiamat?' maka Rasulullah pun bergegas menjalankan sholat . Selesai sholat beliau bangkit dan bertanya:'Siapa yang bertanya tentang datangnya hari kiamat tadi?' Maka laki-laki itu menjawab:'Saya wahai rasulullah.' 'Apa yang telah engkau persiapkan?' Tanya Rasulullah lagi. Orang tadi menjawab:'Saya tidak memunyai banyak sholat dan puasa, hanya saaja saya mencintai Allah dan Rosul-Nya.' Maka Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: 'Sesungguhnya itu bersama orang yang dicintai, dan engkau akan bersama orang yang engkau cintai." Siapakah yang dicintai orang tersebut?

Dan sudah merupakan sesuatu yang mapan pada kaum muslimin, bahwa ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali dilakukan dengan ikhlas hanya karena-Nya dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.

Masalah keikhlasan, itu adalah urusan si pelaku dengan Allah saja, tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Namun yang perlu kita pertanyakan adalah apakah semua itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah dalam cara mencintai beliau Shalallahu Alaihi Wassalam? Apakah Rasulullah memerintahkan, mencontohkan atau menyetujui ekspresi cinta semacam itu? Kalau ada yang mengatakan: "ya" maka datangkanlah kepada kami dalil shohih yang menyatakan hal tersebut, dan insya Allah kami akan segera mengamalkannya. Tapi kalau tidak, maka apakah kita melakukan sesuatu ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh beliau dan para sahabatnya?Siapakah yang lebih mencintai beliau Shalallahu Alaihi Wassalam?Kita ataukah para sahabat? Sudah tentu para sahabat. Jika demikian apakah mereka melakukan itu semua!? Wallahi, seandainya itu perbuatan baik, dan seandainya itu adalah bentuk kecintaan kepada beliau Shalallahu Alaihi Wassalam niscaya merekalah orang yang paling dahulu melakukannya.

Sadarlah, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda (yang artinya): " Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amal itu tertolak." (HR.Bukhori Muslim)

Bukankah agama kita telah sempurna? Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam telah mengajarkan pada umatnya tata cara buang hajat, berpakaian daan lainnya lalu mungkinkah beliau meninggalkan mengajarkan bagaimana cara mencintai beliau Shalallahu Alaihi Wassalam? Itu adalah sebuah kemustahilan.

Oleh karenanya, cintailah beliau Shalallahu Alaihi Wassalam dengan cara yang beliau contohkan dan diamalkan oleh para sahabatnya serta para ulama yang telah mengikuti mereka dengan baik.

Sumber: Disalin secara langsung tanpa menyertakan tulisan/teks arab, dari Muqoddimah, majalah Al-Furqon edisi 8 tahun ketujuh/Rabi'ul awal 1429/2008

Pada dasarnya Ibadah Itu Terlarang, Sedangkan Adat Itu Dibolehkan

Written by Abu Muslim on 22.42

Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf


Syaikh as-Sa'adi Rahimahullah dalam al-Qowa'id wal Ushul Jami'ah hlm. 30 menjelaskan bahwa ibadah adalah semua yang diperintahkan Allah dan Rasul Nya , baik perintah yang bersifat wajib ataupun sunnah.

Yang dimaksud disini dengan al-ibadah disini adalah ibadah mahdhoh yaitu ibadah yang tata cara dan aturannya sudah ditentukan oleh Allah dan RosulNya. Sedangkan yang dimaksud al-'adah atau adat disini adalah ibadah ghoiru mahdhoh, yang biasa disebut sebagai mu'amalah. (bukan istilah adat istiadat yang kadangkala berhubungan dengan ritual kepercayaan)

Jadi pada dasarnya segala sesuatu yang tidak diperintahkan, adalah adat.

Pada dasarnya kita tidak boleh mengamalkan atau mensyariatkan suatu amal ibadah kecuali aada dalilnya dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang mensyariatkannya. Barangsiapa yang mensyariatkan sebuah ibadah tanpa dalil maka dia telah membuat perkara baru baru (bid'ah) dalam agama.

Begitu pula sebaliknya, pada dasarnya semua bentuk adat adalah diperbolehkan, tidak boleh mengharamkannya sedikitpun dari adat kecuali datang dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang mengharamkannya. Barangsiapa yang mengharamkan sebuah adat yang tidak diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan RosulNya, maka dia telah membuat sebuah bid'ah dalam agama.

Dalam masalah ibadah, banyak ayat dan hadist yang menunjukan hal ini, di antaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

"Apakah mereka mempunyai sekutu yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?" (QS. asy-Syuro:21)

Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

"Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amal perbuatan tersebut tertolak." (HR Muslim)

Beliau Shalallahu Alaihi Wassalam juga bersabda:

"Hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena semua perkara yang baru (dalam agama) adalah bid'ah, dn semua bid'ah adalah sesat." (Lihat ash-Shohihah: 2735)

Adapun dalam masalah aadat (mu'amalah) juga banyak dalil yang menunjukankaidah tersebut, diantaranya:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

"Dialah yang telah menciptaakan semua yang ada dimuka bumi untuk kalian." (QS. al-Baqoroh: 29)

Allah berfirman:

Katakanlah:"Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang Dia keluarkan untuk hamba-hamba Nya, juga rezeki yang baik?" Katakanlah: "Itu semua untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan di dunia, dan hanya untuk mereka pada hari kiamat." (QS. al-A'rof: 32)

Juga hadist tentang mu'amalah:

"Dari Abu Darda Radhiallahu Anhu secara marfu' Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:"Apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam kitab Ny maka dia halal, dan apa yang di haramkan berarti haram, sedangkan apa yang di diamkan oleh Nya berarti itu di ma'afkan, maka terimalah apa yang dimaafkanoleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena dia tidak akan pernah lupa." Kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu Wa ta'ala (yang artinya): "Dan tidak lah Robb mu lupa." (QS. Maryam: 64) (HR. Bazzar dan Hakim 2/375, Baihaqi 10/12. Imam Hakim Rahimahullah berkata:"Sanad hadist ini shohih tapi tidak diriwayatkan oleh Bukhori Muslim." Perkataan beliau ini disepakati oleh adz-Dzahabi Rahimahullah. Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadist ini hasan sebagaimana yang terdapat dalam Ghoyatul Marom no.2. Lihat juga at-Ta'liqot aar-Rodhiyah 3/24)

Kaidah ibadah memberikan pengertian bahwa tidak boleh bagi seorangpun menjalankan ibadah kecuali ada daalil yang mencontohkannya. Dalam masalah ini, barangsiapa yang melakukan sebuah ibadah tertentu, maka dia yang dituntut untuk mendatangkan dalil, sedangkan yang tidak mensyariatkan maka tidak dituntut dalil karena dia berpegang pada kaidah dasar.

Contoh 1

Peringatan Maulid Nabi

Kita tanyakan kepada orang yang mengamalkannya:"Apakah menurut kalian bahwa perayaan ini sebuah ibadah atau hanya main-main saja?" Maka mereka akan menjawab: "Ini adalah sebuah ibadah yang mulia." Kalau begitu, datangkanlah kepada kami dalil atas perbuatan ini dari al-Qur'an atau as-Sunnah! kalau ada dan shohih, maka kita terima dan kita amalkan, namun kalu tidak ada-dan memang dalam hal ini tidak ada dalil maka kita katakan bahwa peringatan ini adalah haram, karena asal dari sebuah ibadah itu haram.

Adapun kaidah adat dan mu'amalah memberikan sebuah pemahaman bahwa semua bentuk jenis adat dan mu'amalah hukum dasarnya aadalah boleh. maka barangsiapa yang mengharamkannya atau memakruhkan sebuah adat, maka dia dituntut untuk mendatangkan dalil yang shohih, maka kita terima, namun kalau tidak ada maka boleh, karena hukum asal adat adalah boleh. Dan ini mencangkup semua bentuk adat, baik dalam hal makanan, minuman, pekerjaan, pakaian, rumah, mu'amalah serta lainnya.


Contoh 2

Kalau ada sebuah produk makanan baru, apakah boleh dimakan ataukah tidak. Barangsiapa melarangnya memakannya, maka hendaknya dia membawakan dalil atas keharamannya. Namun kalau tidak ada dalil, berarti makanan tersebut dihukumi halal, karena asal dari adat adalah boleh.


Kesimpulan

Syaikh as-Sa'adi Rahimahullah berkata: "Ini adalah dua kaidah yang sangat besar manfaatnya, dengannya bisa diketahui bid'ah dalam ibadh dan adat, maka barangsiapa memerintahkan sebuah ibadah yang tidak ada contohnya, maka dia ahli bid'ah. Sebaliknya barangsiapa yang mengharamkan sebuah adat tanpa dalil, maka diapun seorang yang telah berbuat bid'ah." (al-Qowa'id wal Ushul al-jami'ah hlm.29)

Wallahu a'lam


Disalin secara langsung Tanpa menyertakan tulisan/teks arab dari Majalah al-Furqon Edisi 8 Tahun ketujuh/Robiul Awal 1429 H/2008 M, Diterbitkan oleh Lajnah Ma'had Al-Furqon Al-Islami , Srowo-Sidayu, Gresik jatim

Emansipasi Wanita, Propaganda Musuh-Musuh Islam

Written by Abu Muslim on 22.27

Al-Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi


Hakikat Emansipasi Wanita

Emansipasi wanita tentu bukan lagi ‘barang’ yang asing saat ini. Terlebih istilah itu sering diserukan dan didengungkan baik melalui media cetak, media elektronik, ataupun forum-forum seminar. Emansipasi itu sendiri merupakan gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. (Lihat Kamus Ilmiah Populer)
Lantas siapakah pengusungnya dan apa targetnya? Pengusungnya adalah musuh-musuh Islam. Sementara targetnya adalah untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dengan menampilkan potret yang bukan sebenarnya. Mereka kesankan bahwa Islam adalah agama yang memasung hak-hak kaum wanita, membelenggu kebebasannya serta mengubur segala potensinya. Target berikutnya adalah untuk menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan, manakala terpengaruh dengan syubhat emansipasi tersebut dan melepaskan dirinya dari rambu-rambu dan bimbingan Islam yang suci.
Demikianlah salah satu gerakan propaganda (usaha untuk memanipulasi persepsi) yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga amat tepat bila gerakan ini disebut dengan GPK (Gerakan Pengacau Keimanan), karena demikian gencarnya upaya yang mereka tempuh untuk mengacaukan keimanan umat Islam (terkhusus kaum wanitanya) dengan intrik manipulasi tersebut.

Menyikapi hal ini umat Islam tak perlu kecil hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga agama Islam dari rongrongan para musuhnya. Bahkan Dia akan senantiasa menyempurnakan cahaya agama Islam tersebut dan memenangkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Mereka berupaya untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Ash-Shaff: 8-9)

Di antara bentuk penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penyempurnaan- Nya terhadap cahaya agama Islam adalah dengan dimunculkannya para ulama yang senantiasa menjaganya dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang keliru yang dilakukan oleh orang-orang jahil.
Sejarah Kaum Wanita dalam Peradaban Umat Manusia
Catatan sejarah menunjukkan bahwasanya kehidupan kaum wanita di masa jahiliah amat memprihatinkan. Di kalangan orang Arab jahiliah, kaum wanita amatlah hina. Betapa marah dan malunya mereka bila diberi kabar tentang kelahiran anak wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Demikian pula pada seluruh umat –selain umat Islam– baik di zaman dahulu maupun di masa kini, kaum wanita (mereka) tak mendapatkan kehormatan yang sepadan dengan nilai-nilai kewanitaannya bahkan kemanusiannya. (Lebih rincinya lihat Al-Huquq wal Wajibat ‘Alar Rijal wan Nisa` fil Islam, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, www.rabee.net dan Tanbihat Ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Para pembaca yang mulia, lalu bagaimanakah kaum wanita dalam sejarah peradaban Islam? Benarkah haknya dipasung, kebebasannya dibelenggu dan potensinya dipangkas, sebagaimana yang dipropagandakan para pengusung emansipasi?

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Adapun agama Islam, maka ia telah membebaskan kaum wanita dari belenggu, melepaskannya dari segala bentuk penindasan, kedzaliman, kegelapan, kenistaan dan perbudakan, serta memosisikannya pada posisi dan kedudukan mulia yang belum pernah didapati pada seluruh umat (selain Islam, pen.), baik dia berstatus sebagai ibu, anak, istri ataupun saudara perempuan. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)

Kaum wanita tak perlu mengadakan muktamar-muktamar, seminar-seminar, atau simposium-simposium , untuk menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya berikut hak-haknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkannya, dan umat Islam pun mengimaninya.
Kaum wanita berhak berhijrah, dan berhak pula mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian para wanita yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa suatu kesalahan yang mereka perbuat.

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(Al-Ahzab: 58)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada (agama) orang-orang mukmin dan mukminah serta enggan bertaubat dengan siksa Jahannam.

“Sesungguhnya orang-orang yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada orang-orang mukmin dan mukminah kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab yang membakar.” (Al-Buruj: 10)

Tak luput pula Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memohon ampun dari segala dosanya dan memohonkan ampun bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.

“Maka ketahuilah, bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19)

Apabila musuh-musuh Islam tersebut ingin melihat secercah posisi wanita dalam agama Islam, maka tengoklah jenazahnya saat di antar ke pekuburan dan saat dishalati. Barangkali orang-orang kafir dan munafik itu akan lebih terheran-heran manakala menyaksikan ratusan ribu kaum muslimin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang merapikan shafnya saat menshalati seorang wanita atau seorang bayi wanita.

Demikianlah berbagai keistimewaan dan anugerah Islam untuk wanita mukminah yang tak akan didapati pada agama (selainnya) yang telah menyimpang. Agama baru yang diada-adakan ataupun aturan-aturan semu yang diklaim telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.
Lebih-lebih di era modern yang dikendalikan oleh Yahudi dan Nashara ini, kaum wanita benar-benar direndahkan dan dihinakan. Mereka dijadikan sebagai komoditas murahan dan obyek kesenangan kaum lelaki. Baik di dunia usaha, tempat kerja ataupun di keramaian. Begitupun di jagad mode serta beragam media (cetak, elektronik, hingga dunia maya). Wanita tampil sekadar benda penghias, baik sebagai SPG, bintang iklan, bintang sampul, dll. Kehormatan kaum wanita diinjak-injak dengan ditampilkannya aurat bahkan foto-foto telanjang mereka di sekian banyak media, demi memuaskan nafsu para lelaki hidung belang dengan pemandangan- pemandangan porno itu. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang. Badan statistik pun bisa-bisa bakal kesulitan untuk mensensus kejadian hamil (di luar nikah) dan jumlah anak jadah/haram.

Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, www.rabee.net)

Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi *)
Para pembaca, sedemikian bijaknya sikap Islam terhadap kaum wanita dan juga kaum lelaki. Namun para pengusung emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim, melalui agama Islam ini. Mereka menyoalnya, menentangnya dan mencemooh Islam dengan slogan-slogan klasik yang acap kali mereka suarakan; “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tak peduli haq ataukah batil.
Padahal dengan gamblangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam Al-Qur`an:

“Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).” (Al-Baqarah: 228)

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang menukilkan perkataan istri ‘Imran):
“Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak wanita.” (Ali ‘Imran: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ ketabahan dalam beribadah dan mengurus Masjid Al-Aqsha.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Para pembaca yang mulia, lebih ironi lagi manakala mereka ‘pelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi melegalkan tuntutannya. Betapa rendahnya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya.
Para pembaca, pendalilan tersebut tidaklah bisa dibenarkan, karena:
Ayat di atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki (para suami) atas kaum wanita (para istri). Kelanjutan ayat tersebut adalah:

“…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”
Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran? !” (Az-Zukhruf: 1)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki, demikian pula dalam hal persaksian. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qadir, 4/659)
Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan antara keduanya rasa kasih dan sayang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Manakala kaum wanita diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk (kenikmatan) kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.

Asal-muasal wanita (Hawa) adalah dari tulang rusuk lelaki (Nabi Adam ‘alaihissalam) . Atas dasar itulah, maka kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.

Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki.
Para pembaca, pendalilan mereka tentang ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak dan cucu sebagai permata hati yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah menjadikan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang baik-baik.” (An-Nahl: 72)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari (pembagian) orang-orang musyrik yang menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak, dan anak-Nya adalah wanita. Sementara mereka memilihkan untuk diri mereka sendiri anak laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka apakah patut bagi kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (milik kalian), dan Manat yang ketiga yang paling terkemudian (sebagai anak wanita Allah)?! Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) wanita?! Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni apakah kalian menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak dan anak-Nya adalah wanita, sementara kalian memilihkan untuk diri kalian sendiri anak laki-laki?! Padahal jika seandainya kalian berbagi (anak) sesama kalian dengan pembagian semacam itu, niscaya itu merupakan pembagian yang tidak adil. Bagaimanakah kalian berbagi dengan Rabb kalian dengan cara seperti itu, sementara bila hal itu diterapkan pada sesama kalian termasuk suatu kejahatan dan kebodohan?!” (Tafsir Ibnu Katsir)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita.
Di antara balasan mulia bagi orang-orang beriman lagi beramal shalih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah para istri yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (selanjutnya ditulis: Al-Jannah) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)

Seringkali ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pahala dan kesudahan mulia bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, dengan mencukupkan penyebutan lafadz laki-laki (mudzakkar) yang dimaukan pula cakupannya untuk kaum wanita.

Kaum wanita adalah orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal, sehingga tidaklah bisa disamakan dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai sekalian kaum wanita, bershadaqahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka (selanjutnya ditulis: An-Naar). Mereka berkata: ‘Dengan sebab apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal yang dapat mengendalikan jiwa seorang lelaki (suami) yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah yang menunjukkan minimnya agama dan akal kami wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: ‘Maka itulah di antara keminiman akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak melakukan shalat dan shaum?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menimpalinya: ‘Maka itulah di antara keminiman agamanya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang minimnya agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa keminiman ini merupakan salah satu sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah minimnya akal pada mereka.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, www.rabee.net)

Penutup
Dari bahasan yang lalu dapatlah disimpulkan bahwa:
  • Emansipasi wanita adalah gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. Ia merupakan propaganda musuh-musuh Islam yang ditargetkan untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dan menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan.
  • Agama Islam benar-benar meletakkan kaum wanita pada posisinya yang mulia. Harkat dan martabat mereka diangkat sehingga tak terhinakan, namun tak juga dijunjung setinggi-tingginya hingga menyamai/melebihi kedudukan kaum lelaki.
Semua dalih emansipasi amatlah lemah lagi batil. Bahkan bertentangan dengan norma-norma syariat dan akal yang sehat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub judul: Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi.
Wallahu a’lam bish-shawab.


***Foot Note

*) Kebanyakan dari bantahan yang ada dalam sub judul ini, disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah- dalam Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, dengan beberapa perubahan dan tambahan (-pen)